Seni Musik Dalam Perspektif Islam
Dalam Ensiklopedi Indonesia
disebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa
manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk
yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera
pengelihatan(seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari,
drama)
Ketika kita berbicara tentang seni, maka yang terlebih dahulu dibicarakan
adalah keindahan. Sudah menjadi fitrahnya manusia menyukai keindahan. Seorang
ibu akan lebih berbahagia jikalau ia dikaruniai anak yang indah fisiknya, baik
rupa ataupun jasmaninya. Seseorang akan lebih memilih rumah yang indah serta
mengenakan pakaian-pakaian yang indah ketimbang semua itu dalam kondisi
biasa-biasa saja ataupun buruk. Demikian halnya dengan nyanyian, puisi,
yang juga melambangkan keindahan, maka manusia pun akan menyukainya.
Allah itu indah dan menyukai keindahan. Inilah prinsip yang didoktrinkan Nabi
saw., kepada para sahabatnya. Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah saw.
bersabda : “Tidak masuk surga orang yang di dalam hatinya terbetik sifat sombong seberat
atom.” Ada orang berkata,” Sesungguhnya seseorang senang berpakaian bagus dan
bersandal bagus.” Nabi bersabda,” Sesungguhnya Allah Maha Indah, menyukai
keindahan. Sedangkan sombong adalah sikap menolak kebenaran dan meremehkan
orang lain.” (HR. Muslim).
Bahkan salah satu mukjizat Al-Qur’an adalah bahasanya yang sangat indah,
sehingga para sastrawan arab dan bangsa arab pada umumnya merasa kalah
berhadapan dengan keindahan sastranya, keunggulan pola redaksinya, spesifikasi
irama, serta alur bahasanya, hingga sebagian mereka menyebutnya sebagai sihir.
Maka manusia menyukai kesenian sebagai representasi dari fitrahnya mencintai
keindahan. Dan tak bisa dipisahkan lagi antara kesenian dengan kehidupan
manusia. Namun bagaimanakah dengan fenomena sekarang yang ternyata dalam kehidupan
sehari-hari nyanyian-nyanyian cinta ataupun gambar-gambar seronok yang
diklaim sebagai seni oleh sebagian orang semakin marak menjadi konsumsi
orang-orang bahkan anak-anak ? Bagaimanakah pandangan Islam terhadap hal-hal
tersebut ?
Sebaiknya kita kembalikan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bahwa dalam
Al-Qur’an disebutkan :“Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak
berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan
menjadikan jalan Allah itu sebagai olok-olokan. Mereka itu memperoleh azab yang
menghinakan.” (Luqman:6)
Pendapat-pendapat Islami seputar
musik dan menyanyi yang berbeda dengan pendapat penulis, tetap penulis hormati. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi (al-ghina’ / at-taghanni).
Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan. Masing-masing
mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil masing-masing,
seperti diuraikan oleh al-Ustadz Muhammad al-Marzuq Bin Abdul Mu’min al-Fallaty
mengemukakan dalam kitabnya Saiful Qathi’i lin-Niza’ bab Fi Bayani Tahrimi
al-Ghina’ wa Tahrim Istima’ Lahu
Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian:
1. Berdasarkan firman Allah:
“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak
berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh
adzab yang menghinakan.” (Qs. Luqmân [31]: 6) Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik
atau lagu, di antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.
Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah Qs. an-Najm
[53]: 59-61; dan Qs. al-Isrâ’ [17]: 64 (Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah
Musik Dan Lagu? (al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 20-22).
2. Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina,
sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).” [HR. Bukhari, Shahih Bukhari,
hadits no. 5590].
3. Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan
menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau
membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih].
4. Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda:
“Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang
menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi
sampai dia berhenti.” [HR. Ibnu Abid Dunya.].
5. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan
suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus
syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar
wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus
syaithan).”
Dalil-Dalil yang Menghalalkan Nyanyian:
1. Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang
telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
2. Hadits dari Nafi’ ra, katanya:
Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam perjalanan kami mendengar
suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan
sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku menjawab
tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan
Rasulullah Saw.” [HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi].
3. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:
Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti
dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul
gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang
Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata: “Di antara kita ada
Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw
bersabda: “Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR.
Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].
4. Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar.
Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda: “Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada
permainan.” [HR. Bukhari].
e. Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia
sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju.
Lalu Hasan berkata:
“Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia
daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)” [HR. Muslim, juz II, hal. 485]. Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua hadits
shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang
ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya
berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya global
(ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya terjadi
jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai
nasakh itu (Imam asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm
al-Ushul, hal. 275).
Karena itu, jika ada dua kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka
sikap yang lebih tepat adalah melakukan kompromi (jama’) di antara keduanya,
bukan menolak salah satunya. Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu
semuanya diamalkan dan diberi pengertian yang memungkinkan sesuai proporsinya.
Itu lebih baik daripada melakukan tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan
menolak yang lainnya. Dalam hal ini Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah
menetapkan kaidah ushul fiqih:
Al-‘amal bi ad-dalilaini —walaw min wajhin— awlâ min ihmali ahadihima
“Mengamalkan dua dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama
daripada meninggalkan salah satunya.” (Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah,
Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh, hal. 390).
Prinsip yang demikian itu dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu adalah
untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan (tak diamalkan). Syaikh Taqiyuddin
an-Nabhani menyatakan:
Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmal “Pada dasarnya dalil itu adalah untuk
diamalkan, bukan untuk ditanggalkan.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani,
Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz 1, hal. 239).
Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah bertentangan di atas dapat dipahami
sebagai berikut : bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum umum
nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan, menunjukkan hukum khusus, atau
perkecualian (takhsis), yaitu bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau
peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’, seperti pada hari raya. Atau dapat
pula dipahami bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian
secara mutlak. Sedang dalil yang menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian
secara muqayyad (ada batasan atau kriterianya) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi,
Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 63-64; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki,
Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 102-103).
Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang
dihalalkan. Nyanyian haram didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan
nyanyian, yaitu nyanyian yang disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik
berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yâ’), misalnya
disertai khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur baur pria–wanita),
atau syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya mengajak pacaran,
mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan sekularisme, liberalisme,
nasionalisme, dan sebagainya. Nyanyian halal didasarkan pada dalil-dalil yang
menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur
kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat
Allah SWT, mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi,
mengajak menuntut ilmu, menceritakan keindahan alam semesta, dan semisalnya
(Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 64-65; Syaikh
Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 103).
Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama’ al-Ghina’)
Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab
memang ada perbedaan antara melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina’) dengan
mendengar lagu (sama’ al-ghina’). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum
af-‘âl (perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara’
(at-taqayyud bi al-hukm asy-syar’i). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk
dalam hukum af-‘âl jibiliyah, yang hukum asalnya mubah. Af-‘âl jibiliyyah
adalah perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang muncul dari penciptaan
manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki, menggerakkan
tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya.
Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada af-‘âl jibiliyyah ini hukum asalnya
adalah mubah, kecuali adfa dalil yang mengharamkan.
Hukum Memainkan Alat Musik
Bagaimanakah hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana, dan
sebagainya? Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis alat
musik yang dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff
atau al-ghirbal, atau rebana. Sabda Nabi Saw:
“Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).” [HR. Ibnu
Majah] ( Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (Al-I’lam bi Anna
al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 52; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni
Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 24).
Adapun selain alat musik ad-duff / al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat. Ada
yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan.
Dalam hal ini penulis cenderung kepada pendapat Syaikh Nashiruddin al-Albani.
Menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat
musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya, seluruhnya dha’if. Memang ada
beberapa ahli hadits yang memandang shahih, seperti Ibnu Shalah dalam
Muqaddimah ‘Ulumul Hadits, Imam an-Nawawi dalam Al-Irsyad,
Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum
dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu
suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan,
kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.
Kesimpulan
a) Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (khayr / ma’ruf) dan
menghapus kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya, mengajak jihad fi
sabilillah, mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau menentang judi,
menentang pergaulan bebas, menentang pacaran, menentang kezaliman penguasa
sekuler.
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru orang kafir dalam masalah yang
bersangkutpaut dengan sifat khas kekufurannya) baik dalam penampilan maupun
dalam berpakaian. Misalnya, mengenakan kalung salib, berpakaian ala pastor atau
bhiksu, dan sejenisnya.
c) Tidak menyalahi ketentuan syara’, seperti wanita tampil menampakkan aurat,
berpakaian ketat dan transparan, bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang
laki-laki memakai pakaian dan/atau asesoris wanita, atau sebaliknya, yang
wanita memakai pakaian dan/atau asesoris pria. Ini semua haram.
Instrumen/Alat Musik
Dengan memperhatikan instrumen atau alat musik yang digunakan para shahabat,
maka di antara yang mendekati kesamaan bentuk dan sifat adalah:
a) Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya. Salah satu bentuknya
seperti genderang untuk membangkitkan semangat.
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan alat musik atau bunyi instrumen
yang biasa dijadikan sarana upacara non muslim.
Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung maksud si
pemakainya. Dan perlu diingat, hukum asal alat musik adalah mubah, kecuali ada
dalil yang mengharamkannya.
Referensi:
Maroji : Fatwa-fatwa Kontemporer, Yusuf Qardhawy
Sumber : albayan.or.id