A. Pengertian Munasabah
Menurut bahasa munasabah
berarti al-musyâkalah dan al-muqarabah yang berarti saling
munyerupai dan saling mendekati. Dikatakan bahwa si A bermunasabah dengan
B, berarti A mendekati atau menyerupai B.
Secara
etimologis, munasabah menurut Manna’ Al-Qaththan berarti keterkaiatan
antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam suatu ayat atau antara ayat
dengan ayat atau antara surah dengan surah. (Manna’ Al-Qaththan
1973 : 94).
Adapun yang
dimaksud dengan munasabah dalam terminologi adalah segi-segi hubungan
atau persesuaian al-Qur’an antara bagian demi bagian dalam berbagai
bentuk. Dimaksud dengan segi hubungan atau persesuaian disini ialah semua
pertalian yang merujuk kepada makna-makna yang mempertalikan satu bagian dengan
bagian yang lain.
B. Macam-macam Munasabah
Ditinjau dari segi sifat
Munasabah ada 2 macam, yaitu
1. Persesuaian yang nyata
(Zahir Al-Irtibat) atau yang tampak jelas
Yaitu
yang persambungan atau persesuaian antar bagian Al-qur’an yang satu dengan yang
lain tampak jelas dan kuat, karena kaitan kalimat yang satu dengan yang lain
erat sekali, sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna, jika
dipisahkan dengan kalimat yang lain.
Contohnya
surat Al-isra’ ayat 1 yang artinya “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan
hamba-Nya pada suatu malam dari masjidil haram ke masjil Aqsha yang telah kami
berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) kami. Sesungguhnya dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ayat tersebut
menerangkan Isra’ Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya
Al-Isra’ ayat 2 yang artinya “Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan
kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi bani Israel (dengan firman) :
janganlah kamu mengambil penolong selain aku”.
Ayat tersebut
menjelasskan Turunnya Kitab Taurat kepada Nabi Musa AS.
Penyesuaian antara kedua ayat
tersebut ialah tampak jelas mengenai diutusnya kedua orang Nabi atau Rosul
tersebut.
2.
Persambungan yang tidak jelas (Khafiyyu Al-Irtibath) atau samarnya penyesuaian
anatar bagian Al-quran dengan yang lain, sehingga tidak tampak adanya
pertalian untuk keduannya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat atau surat itu
berdiri sendiri-sendiri, baik kerena ayat yang satu itu diciptakan kepada yang
lain atau kerena yang satu bertentangan dengan yang lain
Contohnya seperti hubungan antara ayat 189 surat Al-baqorah yang
artinya “mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah : bulan sabit
itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji dan bukanlah
kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu
ialah kebajikan orang yang bertakwa, dan masuklah ke rumah-rumah itu dari
pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”
Ayat tersebut menerangkan bulan sabit atau tanggal-tanggal untuk
tanda-tanda waktu dan untuk ibadah haji.
Sedangkan ayat 190 surat Al-baqorah yang artinya : “Dan perangilah di
jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui
batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas.
Ayat tersebut menerangkan perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang
umat islam. Sepintas, antara kedua ayat tersebut seperti tidak ada hubungannya
antara ayat satu dengan yang lainnya.
Ditinjau dari segi materinya
terdapat 6 macam munasabah, yaitu :
1.
Munasabah anatar surat dengan surat sebelumnya. Satu surat
berfungsi menjelaskan surat sebelumnya. Contoh di dalam Quran Surat Al Fatihah
ayat 6 yang artinya “tunjukkan kami ke jalan yang lurus”.
Lalu dijelaskan
dalam surat Al-baqorah, bahwa jalan yang lurus itu ialah mengikuti petunjuk
Al-Qur’an. Sebagaimana disebutkan padaSurat Al-baqorah ayat 2 yang artinya
“kitab (Al-qur’an) itu tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang
bertakwa”
2.
Munasabah antar Nama surat dengan isi atau tujuan surat. Nama-nama
surat biasanya diambil dari suatu masalah pokok didalam satu surah. Misalnya
QS. An-nisa karena didalamnya banyak menceritakan tentang soal perempuan.
3.
Hubungan antara fawatih As-suwar (ayat yang terdiri dari beberapa
huruf) dengan isi surat. Hubungan fawatih as-suwar dengan isi suratnya bisa
dilacak dari jumlah huruf-huruf yang dijadikan sebagai fawatih as-surar.
Misalnya jumlah huruf alif, lam, dan mim pada surat-surat yang dimulai
dengan alif-lam-mim semuannya dapat
dibagi lagi.
4.
Hubungan antara kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat.
Misalnya dalam QS. Al-fatihah ayat 2 “segala puji bagi Allah” lalu sifat Allah
dijelaskan pada kalimat berikutnya “tuhan semesta alam”.
5.
Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat.
Misalnya QS. Al-mu’minun ayat 1 yaitu “sesungguhnya beruntunglah orang-orang
yang beriman”. Kemudian dibagian akhir surat ayat 117 ditemukan kalimat yang
artinya “sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak beruntung”.
6.
Hubungan antara penutup surat dengan awal surat berikutnya.
Misalnya QS. Al-waqiah ayat 96 yang artinya “bertasbihlah dengan menyebut nama
Tuhanmu yang Maha Besar”
Lalu surat
berikutnya yakni QS. Al-Hadid ayat 2 yang artinya “senua yang berada dilangit
dan dibumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan dialah Maha
Kuasa atas segala sesuatu”.
Munasabah Al-quran diketahui berdasarkan
Ijtihad, bukan berdasarkan petunjuk Nabi (Tawqifi). Setiap orang bisa saja
menghubung-hubungkan antara berbagai hal didalam kitab al-qur’an.
C. Tanda dan Eksistensi
Munasabah
Para ulama sepakat bahwa tertib
ayat-ayat dalam Al Qur’an adalah tauqifi (tergantung pada petunjuk Allah dan
Nabi-Nya). Mengenai tertib surat-surat Al-Qur’an pada ulama berbeda pendapat. Mayoritas
ulama berpendapat bahwa tertib surat-surat Al-Qur’an sebagaimana yang dijumpai
dalam mushhaf yang sekarang adalah tauqifi. Pendapat ini didasarkan atas
keadaan Nabi SAW, yang setiap tahunya melakukan mu’aradhah (mendengarkan
bacaanya) kepada Jibril AS. Termasuk yang diperdengarkan Rasul itu tertib
surat-suratnya. Pada mu’aradhah terakhir, Zaid ibn Tsabit hadir saat Nabi
membacakan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan teritib surat yang sama kepaa kita
sekarang.
Sebagaimana ulama memandang tertib
ayat-ayat Al-Qur’an masuk dalam ijtihad. Pendapat ini didasarkan atas beberapa
alasan. Pertama,mushhat pada catatan para sahabat tidak sama. Kedua, sahabat
pernah mendengar Nabi membaca Al-Qur’an berbeda dengan pendapat tertib surat
yang terdapat dalam Al-Qur’an. Ketiga, adanya perbedaan pendapat dalam masalah
tertib surat Al-Qur’an ini ditunjukan tidak adanya petunjuk yang jelas atas
tertib dimaksud. Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa seagianya tauqifi
dan lainya ijtihad. Pendapat ini juga mengajukan beberapa alasan. Menurut
pendapat ini, tidak semua nama surat Al-Qur’an diberikan oleh Allah, tetapi
sebagian diberikan oleh Nabi SAW, dan lainya diberikan oleh para sahabat. Usman
pernah ditanya mengapa surat Al Barasah tidak dimulai dengan basmalah. Ia menjawab
bahwa ia melihat isinya yang sama dengan surat sebelumnya, surat al-Anfal. Nabi
tidak sempat menjelaskan tempat surat tersebut sampai wafatnya. Karena itu,
saya kata usman meletakkanya setelah surat al-Anfal.
Meski ketiga pendapat di atas
memiliki alasan, tetapi alasan-alasan yang dikemukakan itu tidak semuanya
memiliki tingkat keabsahan yang sama. Alasan pendapat yang mengatakan tertib
surat sebagai ijtihad tampak tidak kuat. Riwayat tentang sebagian sahabat
pernah mendengar Nabi membaca Al-Qur’an berbeda dngan tertib mushhaf yang
sekarang dan adanya catatan mushhaf sahabat yang berbeda bukalah riwayat
mutawatir. Tertib mushhaf sekarang berdasarkan khabar mutawatir. Kemudian,
tidak ada jaminan bahwa semua sahabat yang memiliki catatan mushhaf itu hadir
bersama Nabi setiap saat turun ayat Al-Qur’an. Karena itu, kemungkinan tidak
utuhnya tertib mushhaf sahabat sangat besar. Demikian juga alasan pendapat yang
mengatakan sebagai surat tauqifi dan sebagian lainya ijtihadi tidak kuat.
Keterangan bahwa Nabi tidak sempat menjelaskan letak surat al-Barasah sehingga
Usman tidak menempatkannya sebelum surat al-Anfal adalah riwayat yang lemah,
baik dari segi sanad maupun matan, sebab periwayat, Yazid pada sanadnya dinilai
majbul oleh al-Bukhari dan Ibn Katsir. Dari segi matan juga riwayat ini lemah
karena nabi wafat tiga tahun setengah setelah turunya surat al-Barasah.
Tentunya dalam waktu demikian panjang sulit dibayangkan Nabi tidak sempat
menjelaskan letak sebuah surat, sedang Nabi setiap tahun membacakan Al-Qur’an
kepada Jibril. Sementara itu, riwayat tentang mu’aradhah nabi akan bacaannya
kepada Jibril setiap tahun adalah riwayat sahih. Karena itu, pendapat mayoritas
lebih kuat dari pada kedua pendapat lainya.
Terlepas dari kontroversi pendapat
tentang keberadaan munasabah, ilmu ini termasuk yang kurang mendapat perhatian
dari para mufasir. Buku-buku ulumul Qur’an, terutama buku-buku dalam bahasa
Indonesia jarang memuat bahasan ini, sebab ilmu munasabah sebagaimana
ditegaskan oleh al-Suyuthi termasuk ilmu yang rumit.
D. Urgensi Munasabah
Pengetahuan
tentang munasabah Al-Qur’an terutama bagi seorang mufasir sangat urgen.
Diantara urgensinya adalah sebagai berikut:
1. Menemukan makna yang tesirat dalam
susunan dari urutan kalimat-kalimat, ayat-ayat, dan surat-surat Al-Qur’an sehingga
bagian-bagian dari Al-Qur’an saling berhubungan dan tampak menajadi satu
rangkaian yang utuh dan integral.
2. Mempermudah pemahaman Al-Qur’an. Misalnya ayat
enam dari surat al-Fatihah yang artinya, ‘tunjukanlah kami kepada jalan yang
lurus’ disambung dengan ayat ketujuh yang artinya ‘yaitu jalan orang-orang yang
Engkau anugrahi nikmat atas mereka. “Antara keduanya terdapat hubungan
penjelasan bahwa jalan yang lurus dimaksud adalah jalan orang-orang yang telah
mendapatkan nikmat dari Allah SWT.
3. Memperkuat atas keyakinan dan
kebenaranya sebagai wahyu dari Allah. Meskipun Al-Qur’an yang terdiri
dari atas 6236 ayat dan ditulis, diturunkan, ditempat, keadaan, dan kasus yang
berbeda dalam rentang waktu dua puluh tahun lebih, namun dalam susunanya terdapat
makna yang dalam berupa hubungan yang kuat antar satu bagian dengan bagian
lainya.
4. Menolak tuduhan bahwa susunan
Al-Qur’an kacau. Tuduhan misalnya muncul karena penempatan surat
al-Fatihah pada awal Mushhaf sehingga surat inilah yang pertama dibaca.
Padahal, dalam sejarah, lima ayat pertama surat al Alaq sebagai ayat-ayat
pertama turun kepada Nabi SAW. Akan tetapi Nabi menetapkan letak al Fatihah
diawal mushhaf yang kemudian disusul dengan surat al Baqarah. Setelah didalami,
ternyata dalam urutan ini terdapat munasabah. Surat al Fatihah mengandung
unsur-unsur pokok dari syariat Islam dan pada surat ini termuat doa manusia
untuk memohon petunjuk ke jalan yang lurus. Surat al-Baqarah diawali dengan
petunjuk al kitab sebagai pedoman menuju jalan yang lurus. Dengan demikian,
surat al Fatihah merupakan titik bahasan yang akan diperinci pada surat surat
berikutnya, al Baqarah. Dengan menemukan munasabah tesebut, ternyata susunan
ayat-ayat dan surat-surat al qur’an tidak kacau melainkan mengandung makna yang
dalam.