Saturday, October 12, 2019

Makalah tentang Munasabah

0

Munasabah
A.    Pengertian Munasabah
Menurut bahasa munasabah berarti al-musyâkalah dan al-muqarabah yang berarti saling munyerupai dan saling mendekati. Dikatakan bahwa si A bermunasabah dengan B, berarti A mendekati atau menyerupai B.
Secara etimologis, munasabah menurut Manna’ Al-Qaththan berarti keterkaiatan antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam suatu ayat atau antara ayat dengan ayat atau antara surah dengan surah. (Manna’ Al-Qaththan 1973 : 94).
Adapun yang dimaksud dengan munasabah dalam terminologi adalah segi-segi hubungan atau persesuaian al-Qur’an antara bagian demi bagian dalam berbagai bentuk. Dimaksud dengan segi hubungan atau persesuaian disini ialah semua pertalian yang merujuk kepada makna-makna yang mempertalikan satu bagian dengan bagian yang lain.
B.     Macam-macam Munasabah
Ditinjau dari segi sifat Munasabah ada 2 macam, yaitu
      1.      Persesuaian yang nyata (Zahir Al-Irtibat) atau yang tampak jelas
Yaitu yang persambungan atau persesuaian antar bagian Al-qur’an yang satu dengan yang lain tampak jelas dan kuat, karena kaitan kalimat yang satu dengan yang lain erat sekali, sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna, jika dipisahkan dengan kalimat yang lain.
Contohnya surat Al-isra’ ayat 1 yang artinya “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari masjidil haram ke masjil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ayat tersebut menerangkan Isra’ Nabi Muhammad SAW.
            Selanjutnya Al-Isra’ ayat 2 yang artinya “Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi bani Israel (dengan firman) : janganlah kamu mengambil penolong selain aku”.
Ayat tersebut menjelasskan Turunnya Kitab Taurat kepada Nabi Musa AS.
            Penyesuaian antara kedua ayat tersebut ialah tampak jelas mengenai diutusnya kedua orang Nabi atau Rosul tersebut.
      2.      Persambungan yang tidak jelas (Khafiyyu Al-Irtibath) atau samarnya penyesuaian anatar bagian Al-quran dengan yang lain, sehingga tidak tampak adanya pertalian untuk keduannya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat atau surat itu berdiri sendiri-sendiri, baik kerena ayat yang satu itu diciptakan kepada yang lain atau kerena yang satu bertentangan dengan yang lain
Contohnya seperti hubungan antara ayat 189 surat Al-baqorah yang artinya “mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah : bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa, dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”
Ayat tersebut menerangkan bulan sabit atau tanggal-tanggal untuk tanda-tanda waktu dan untuk ibadah haji.
Sedangkan ayat 190 surat Al-baqorah yang artinya : “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Ayat tersebut menerangkan perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat islam. Sepintas, antara kedua ayat tersebut seperti tidak ada hubungannya antara ayat satu dengan yang lainnya.
Ditinjau dari segi materinya terdapat 7 macam munasabah, yaitu :
         a.      Munasabah anatar surat dengan surat sebelumnya. Satu surat berfungsi menjelaskan surat sebelumnya. Contoh di dalam Quran Surat Al Fatihah ayat 6 yang artinya “tunjukkan kami ke jalan yang lurus”.
Lalu dijelaskan dalam surat Al-baqorah, bahwa jalan yang lurus itu ialah mengikuti petunjuk Al-Qur’an. Sebagaimana disebutkan padaSurat Al-baqorah ayat 2 yang artinya “kitab (Al-qur’an) itu tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa”
      b.      Munasabah antar Nama surat dengan isi atau tujuan surat. Nama-nama surat biasanya diambil dari suatu masalah pokok didalam satu surah. Misalnya QS. An-nisa karena didalamnya banyak menceritakan tentang soal perempuan.
      c.      Hubungan antara fawatih As-suwar (ayat yang terdiri dari beberapa huruf) dengan isi surat. Hubungan fawatih as-suwar dengan isi suratnya bisa dilacak dari jumlah huruf-huruf yang dijadikan sebagai fawatih as-surar. Misalnya jumlah huruf alif, lam, dan mim pada surat-surat yang dimulai dengan  alif-lam-mim semuannya dapat dibagi lagi.
      d.      Hubungan antara kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat. Misalnya dalam QS. Al-fatihah ayat 2 “segala puji bagi Allah” lalu sifat Allah dijelaskan pada kalimat berikutnya “tuhan semesta alam”.
      e.      Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat. Misalnya QS. Al-mu’minun ayat 1 yaitu “sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”. Kemudian dibagian akhir surat ayat 117 ditemukan kalimat yang artinya “sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak beruntung”.
      f.      Hubungan antara penutup surat dengan awal surat berikutnya. Misalnya QS. Al-waqiah ayat 96 yang artinya “bertasbihlah dengan menyebut nama Tuhanmu yang Maha Besar”
Lalu surat berikutnya yakni QS. Al-Hadid ayat 2 yang artinya “senua yang berada dilangit dan dibumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan dialah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

Munasabah Al-quran diketahui berdasarkan Ijtihad, bukan berdasarkan petunjuk Nabi (Tawqifi). Setiap orang bisa saja menghubung-hubungkan antara berbagai hal didalam kitab al-qur’an.

C.    Tanda dan Eksistensi Munasabah
Para ulama sepakat bahwa tertib ayat-ayat dalam Al Qur’an adalah tauqifi (tergantung pada petunjuk Allah dan Nabi-Nya). Mengenai tertib surat-surat Al-Qur’an pada ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa tertib surat-surat Al-Qur’an sebagaimana yang dijumpai dalam mushhaf yang sekarang adalah tauqifi. Pendapat ini didasarkan atas keadaan Nabi SAW, yang setiap tahunya melakukan mu’aradhah (mendengarkan bacaanya) kepada Jibril AS. Termasuk yang diperdengarkan Rasul itu tertib surat-suratnya. Pada mu’aradhah terakhir, Zaid ibn Tsabit hadir saat Nabi membacakan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan teritib surat yang sama kepaa kita sekarang.
Sebagaimana ulama memandang tertib ayat-ayat Al-Qur’an masuk dalam ijtihad. Pendapat ini didasarkan atas beberapa alasan. Pertama,mushhat pada catatan para sahabat tidak sama. Kedua, sahabat pernah mendengar Nabi membaca Al-Qur’an berbeda dengan pendapat tertib surat yang terdapat dalam Al-Qur’an. Ketiga, adanya perbedaan pendapat dalam masalah tertib surat Al-Qur’an ini ditunjukan tidak adanya petunjuk yang jelas atas tertib dimaksud. Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa seagianya tauqifi dan lainya ijtihad. Pendapat ini juga mengajukan beberapa alasan. Menurut pendapat ini, tidak semua nama surat Al-Qur’an diberikan oleh Allah, tetapi sebagian diberikan oleh Nabi SAW, dan lainya diberikan oleh para sahabat. Usman pernah ditanya mengapa surat Al Barasah tidak dimulai dengan basmalah. Ia menjawab bahwa ia melihat isinya yang sama dengan surat sebelumnya, surat al-Anfal. Nabi tidak sempat menjelaskan tempat surat tersebut sampai wafatnya. Karena itu, saya kata usman meletakkanya setelah surat al-Anfal.
Meski ketiga pendapat di atas memiliki alasan, tetapi alasan-alasan yang dikemukakan itu tidak semuanya memiliki tingkat keabsahan yang sama. Alasan pendapat yang mengatakan tertib surat sebagai ijtihad tampak tidak kuat. Riwayat tentang sebagian sahabat pernah mendengar Nabi membaca Al-Qur’an berbeda dngan tertib mushhaf yang sekarang dan adanya catatan mushhaf sahabat yang berbeda bukalah riwayat mutawatir. Tertib mushhaf sekarang berdasarkan khabar mutawatir. Kemudian, tidak ada jaminan bahwa semua sahabat yang memiliki catatan mushhaf itu hadir bersama Nabi setiap saat turun ayat Al-Qur’an. Karena itu, kemungkinan tidak utuhnya tertib mushhaf sahabat sangat besar. Demikian juga alasan pendapat yang mengatakan sebagai surat tauqifi dan sebagian lainya ijtihadi tidak kuat. Keterangan bahwa Nabi tidak sempat menjelaskan letak surat al-Barasah sehingga Usman tidak menempatkannya sebelum surat al-Anfal adalah riwayat yang lemah, baik dari segi sanad maupun matan, sebab periwayat, Yazid pada sanadnya dinilai majbul oleh al-Bukhari dan Ibn Katsir. Dari segi matan juga riwayat ini lemah karena nabi wafat tiga tahun setengah setelah turunya surat al-Barasah. Tentunya dalam waktu demikian panjang sulit dibayangkan Nabi tidak sempat menjelaskan letak sebuah surat, sedang Nabi setiap tahun membacakan Al-Qur’an kepada Jibril. Sementara itu, riwayat tentang mu’aradhah nabi akan bacaannya kepada Jibril setiap tahun adalah riwayat sahih. Karena itu, pendapat mayoritas lebih kuat dari pada kedua pendapat lainya.
Terlepas dari kontroversi pendapat tentang keberadaan munasabah, ilmu ini termasuk yang kurang mendapat perhatian dari para mufasir. Buku-buku ulumul Qur’an, terutama buku-buku dalam bahasa Indonesia jarang memuat bahasan ini, sebab ilmu munasabah sebagaimana ditegaskan oleh al-Suyuthi termasuk ilmu yang rumit.

D.    Urgensi Munasabah
Pengetahuan tentang munasabah Al-Qur’an terutama bagi seorang mufasir sangat urgen. Diantara urgensinya adalah sebagai berikut:
1. Menemukan makna yang tesirat dalam susunan dari urutan kalimat-kalimat, ayat-ayat, dan surat-surat Al-Qur’an sehingga bagian-bagian dari Al-Qur’an saling berhubungan dan tampak menajadi satu rangkaian yang utuh dan integral.
2. Mempermudah pemahaman Al-Qur’an. Misalnya ayat enam dari surat al-Fatihah yang artinya, ‘tunjukanlah kami kepada jalan yang lurus’ disambung dengan ayat ketujuh yang artinya ‘yaitu jalan orang-orang yang Engkau anugrahi nikmat atas mereka. “Antara keduanya terdapat hubungan penjelasan bahwa jalan yang lurus dimaksud adalah jalan orang-orang yang telah mendapatkan nikmat dari Allah SWT.
3. Memperkuat atas keyakinan dan kebenaranya sebagai wahyu dari Allah. Meskipun Al-Qur’an yang terdiri dari atas 6236 ayat dan ditulis, diturunkan, ditempat, keadaan, dan kasus yang berbeda dalam rentang waktu dua puluh tahun lebih, namun dalam susunanya terdapat makna yang dalam berupa hubungan yang kuat antar satu bagian dengan bagian lainya.
4. Menolak tuduhan bahwa susunan Al-Qur’an kacau. Tuduhan misalnya muncul karena penempatan surat al-Fatihah pada awal Mushhaf sehingga surat inilah yang pertama dibaca. Padahal, dalam sejarah, lima ayat pertama surat al Alaq sebagai ayat-ayat pertama turun kepada Nabi SAW. Akan tetapi Nabi menetapkan letak al Fatihah diawal mushhaf yang kemudian disusul dengan surat al Baqarah. Setelah didalami, ternyata dalam urutan ini terdapat munasabah. Surat al Fatihah mengandung unsur-unsur pokok dari syariat Islam dan pada surat ini termuat doa manusia untuk memohon petunjuk ke jalan yang lurus. Surat al-Baqarah diawali dengan petunjuk al kitab sebagai pedoman menuju jalan yang lurus. Dengan demikian, surat al Fatihah merupakan titik bahasan yang akan diperinci pada surat surat berikutnya, al Baqarah. Dengan menemukan munasabah tesebut, ternyata susunan ayat-ayat dan surat-surat al qur’an tidak kacau melainkan mengandung makna yang dalam.


Hadits semester 1/2015
Author Image
AboutDika Ayu Rahmawati

Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment