Thursday, October 13, 2016

MAKALAH kuliah psikologi Arti Pendidikan dan Pengajaran

1


Arti Pendidikan dan Pengajaran
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Perkembangan

Dosen Pembimbing :
Dwi Rosyidatul Kholidah, M. Pd. I


Disusun Oleh :
1.     A
2.     B
3.     C

Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI)
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL-FATTAH
LAMONGAN
MARET 2016
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.  Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami limpahan rahmat sehingga  kami mampu menyelesaikan makalah tentang “Arti Pendidikan dan Pengajaran” ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Perkembangan dengan baik.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun kita dari jalan yang gelap gulita menuju jalan yang terang benderang yakni agama islam.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada:
1.      Bapak Drs.H. Malik Zuhri,S.Pd. MMPd. Selaku ketua STIT AL-FATTAH
2.      Ibu Dwi Rosyidatul Kholidah, M. Pd. I selaku dosen mata kuliah Psikologi Perkembangan
3.      Orang tua kami yang telah membantu baik secara moril maupun materi
4.      Teman-teman satu kelompok yang  telah bekerja sama dalam penyusunan makalah ini.
Makalah ini disusun dengan tujuan pertama memahami dan mendalami tentang Hubungan Antara Proses Perkembangan dengan Proses Belajar.  Kedua memenuhi tugas diskusi dan pembuatan makalah secara kelompok. Adapun manfaat makalah ini adalah sebagai wahana pembelajaran mata kuliah Psikologi Perkembangan agar dapat dipelajari oleh seluruh mahasiswa/mahasiswi khususnya jurusan Pendidikan Guru Madrasah  Ibtidaiyah.
Kami menyadari  bahwa makalah yang kami susun ini masih jauh dari sempurna, karena itulah kritik dan saran yang membangun dari dosen dan teman-teman sangat kami harapkan.
Siman, 25 Maret 2016

Penulis
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Ragam Arti Pendidikan dan Pengajaran
Akar pendidikan adalah “didik” atau “mendidik” yang secara harfiah artinya memelihara dan memberi latihan. Sedangkan “pendidikan”, seperti yang pernah penyusun singgung sebelum ini adalah tahapan-tahapan kegiatan mengubah sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Dalam bahasa Arab, pendidikan disebut “tarbiyah” yang berarti proses persiapan dan pengasuhan manusia pada fase-fase awal kehidupannya yakni pada tahap perkembangan masa bayi dan kanak-kanak (Jalal, 1988). Dalam sebuah Kamus Arab-Inggris Modern disebutkan kata rabba, dan rabbaba, dan tarabbabal walada memiliki arti yang sama yakni so foster atau to bring up (Elias & Elias, 1982), artinya memelihara mengasuh anak.[1]
Dalam bahasa Inggris, pendidikan disebut education yang kata kerjanya to educate. Padanan kata ini adalah to civilize, to develop, artinya memberi peradaban dan mengembangkan. Istilah education memiliki dua arti, yakni dari sudut orang yang menyelenggarakan pendidikan dan arti dari sudut orang yang di didik. Dari sudut pendidik, education berarti perbuatan atau proses memberikan pengetahuan atau mengajarkan pengetahuan. Sedangkan dari sudut peserta didik, education berarti proses atau perbuatan memeroleh pengetahuan.
Sementara itu, Poerbakawatja & Harahap (1981), Poerwanto (1985), dan Winkel (1991) masing-masing mengartikan pendidikan dengan ungkapan yang maksudnya relatif sama bahwa pendidikan adalah usaha yang disengaja dalam bentuk perbuatan, bantuan, dan pimpinan orang dewasa kepada anak-anak agar mencapai kedewasaan. Tekanan mereka dalam hal ini ialah bahwa pendidikan itu harus dilakukan oleh orang dewasa, sedangkan yang dididik harus orang belum dewasa (anak-anak).
Adapun mengenai istilah “pengajaran” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991) berasal dari kata “ajar”, artinya petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut). Kata “mengajar” berarti memberi pelajaran. Contoh: “Guru itu mengajar murid matematika.” Sedangkan kata “mengajarkan” berarti memberikan pelajaran. Contoh: siapa yang mengajarkan sejarah kepada murid-murid kelas IV?” Berdasarkan arti-arti ini, kemudian Kamus Besar Bahasa Indonesia itu mengartikan pengajaran sebagai “proses perbuatan, cara mengajar atau mengajarkan”.
Selanjutnya dalam bahasa Arab, pengajaran disebut “taklim” (terkadang ditulis “ta’lim”) yang berasal dari kata ‘allama, dan padanannya “hazzaba” (terkadang ditulis “hadzdzaba”). Dalam Kamus Arab-Inggris susunan Elias & Elias (1992), kata-kata tersebut berarti : to educate; to train; to teach; to instruct, yakni mendidik, melatih, dan mengajar. Ungkapan kata “allama al-‘ilma” berarti to teach atau to instruct (mengajar).
Ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pengajaran disebut fannu al-taklim yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan kata pedagogy dan pedagogics yang artinya ilmu mengajar. Pedagogi dan pedagogic adalah dua kata yang sama artinya yakni ilmu pengetahuan, seni, prinsip, dan perbuatan mengajar (Tardif, 1987; Reber, 1988; Mcleod, 1989). Sedangkan orang yang mengaplikasikan pedagogi atau pedagogic tersebut dikenal dengan nama pedagog (pedagogue) yang berarti guru atau pendidik. Alhasil, perbedaan arti pedagogi sebagai pendidikan dengan pedagogik sebagai ilmu pendidikan yang selama ini kita pahami, masih perlu dipertanyakan kesahihannya. 
Selanjutnya, istilah pengajaran dalam bahasa Inggris disebut instruction atau teaching. Akar kata instruction adalah to instruct, artinya to direct to do something; to teach to do something; to furnish with information, yakni memberi pengaruhnya agar melakukan sesuatu; mengajar agar melakukan sesuatu; memberi informasi. Istilah instruction (pengajaran) menurut Reber (1988) berarti: pendidikan atau proses perbuatan mengajarkan pengetahuan.
Sementara itu, Tardif (1987) memberi arti instruction secara lebih terperinci yaitu: A preplanned, goal directed educational proses designed to facilitate learning. Artinya, pengajaran adalah sebuah proses kependidikan yang sebelumnya direncanakan dan diarahkan untuk mencapai tujuan serta dirancang untuk mempermudah belajar.
B.     Hakekat Hubungan Pendidikan dengan Pengajaran
Pendidikan, menururt Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1, adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar secara aktif mengembangkan potensi dirinya. Pengertian ini, secara implisit menafiqkan atau mengingkari/menampik kehadiran orang dewasa sebagai satu-satunya orang yang berhak menjadi penyelenggara pendidikan atau menjadi guru/pendidik sebagaimana yang dikehendaki sebagian ahli yang terkesan masih berpikiran tradisional itu.[2]
Konsep “orang dewasa” sebagai pendidik dan pengajar dalam dunia pendidikan modern ini memang semakin kabur, apalagi jika dikaitkan dengan pendidikan tinggi atau pendidikan kedinasan. Para peserta didik dalam institusi-institusi kependidikan tersebut dapat dikatakan terdiri atas orang-orang dewasa semua, bahkan sebagian di antaranya ada yang sudah berusia setengah baya. Dalam keadaan demikian, tak bolehkah orang masih muda (tetapi berkemampuan memadai) mendidik mereka yang pada umumnya lebih tua? Jawabnya, tentu saja tak ada masalah. Sebab, yang lebih dipentingkan dalam dunia pendidikan dan pengajaran bukan soal usia, melainakan kemampuan psikologis yang memadai.
Selama pendidik memiliki kemampuan psikologis kependidikan yang dapat dipertanggungjawabkan, meskipun usianya masih muda atau mungkin jauh lebih muda daripada yang dididik, dia tetap berhak untuk diakui sebagai pendidik. Pada zaman sekaran ini, cukup banyak asisten dosen dan dosen yang brilian berusia muda apalagi di perguruan tinggi terkemuka di negara-negara maju. Mereka itu, walaupun relatif masih muda, bahkan konon ada yang belum genap 20 tahun, penguasaannya atas materi dan metodologi sangat meyakinkan. Mereka bahkan mampu berpenampilan lebih dewasa daripada para mahasiswa, yang relatif lebih tua.
Para pendidik yang tugas utamanya mengajar, baik guru maupun dosen sebagaimana yang diisayaratkan oleh undang-undang, tidak memerlukan syarat usia. Kriteria yang membatasi usia tertentu untuk menjadi tenaga pengajar atau pendidik dalam psikologi pendidikan masa kini hampir tak pernah lagi disinggung-singgung. Tetapi hal ini tentu tidak berarti anak-anak atau  remaja yang  nyata-nyata tidak memenuhi syarat psikologis boleh menjadi pendidik atau guru.
Syarat psikologis yang lengkap, utuh, dan menyeluruh bagi seorang calon guru untuk  setiap jenjang pendidikan meliputi kompetensi profesionalisme keguruan, yakni kompetensi ranah cipta (kognitif); kompetensi ranah rasa (psikomotor). Asal kompetensi profesionalisme keguruan ini terpenuhi, berapa pun usia guru tentu layak untuk di angkat menjadi guru. Prinsip yang bersifat psikologis ini selain luwes dan menghargai potensi anugerah Tuhan, juga tidak berlawanan dengan prinsip konstitusional yang sama sekali tidak menetapkan usia tertentu untuk diangkat menjadi pendidik.
Selanjutnya pengertian pendidikan menurut UUSPN di atas juga menafikan  keharusan adanya anak-anak atau orang belum dewasa sebagai satu-satunya kelompok yang berhak memeroleh pendidikan. Penafsiran ini jelas dapat dinilai tepat baik ditinjau dari sudut psikologi pendidikan maupun dari sudut kenyataan lapangan. Dari sudut kenyataan yang ada dan berkembang dalam tatanan dunia pendidikan modern sekarang, peserta didik bisa saja terdiri atas pelbagai kelompok usia mulai kanak-kanak sampai dewasa, bahkan kelompok yang mendekati lanjut usia.
Ambillah contoh pendidikan kedinasan. Pendidikan kedinasan jelas bukan pendidikan anak-anak, melainkan untuk para pegawai atau para calon pegawai instansi pemerintahan dalam meningkatkan kemampuan pelaksanaan tugas kedinasan mereka. Contoh lain misalnya pendidikan professional. Jalur pendidikan ini diarahkan pada kesiapan penerapan keahlian atau profesi tertentu, yang kalau pesertanya anak-anak tentu tak mungkin dapat mengikuti pendidikan tersebut.
Alhasil, pendidikan pada hakikatnya seperti dinyatakan para ahli psikologi dan pendidikan antara lain Chaplin (1971), Tardif (1987), dan Reber (1988), adalah pengembangan potensi atau kemampuan manusia secara menyeluruh yang pelaksanaannya dilakukan dengan cara mengajarkan pelbagai pengetahuan dan kecakapan yang dibutuhkan oleh manusia itu sendiri. Hakikat pendidikan yang dikemukakan para ahli di atas tenyata juga sama dengan persepsi para penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991). Dalam kamus ini, secara tegas dinyatakan bahwa pendidikan adalah tahapan pengubahan sikap dan tingkah laku manusia baik sebagai individu maupun sebagai kelompok melalui ikhtiar pengajaran dan pelatihan. Dalam perspektif psikologi, pelatihan sebenarnya masih berada dalam ruang lingkup pengajaran. Artinya, pelatihan adalah salah satu unsur pelaksanaan proses pengajaran terutama dalam pengajaran keterampilan ranah karsa.
Selain pengajaran dan pelatihan, dalam pendidikan juga diperlukan adanya bimbingan sebagaimana tersebut pada beberapa pasal dalam UUSPN 2003. Bimbingan, seperti juga pelatihan, adalah bagian penting dari pengajaran. Sebuah upaya pengajaran tanpa bimbingan bukanlah pengajaran yang ideal karena akan berdampak terabaikannya penanggulangan kesulitan belajar dan pelaksanaan remedial teaching yang secara psikologis didaktis merupakan salah satu keharusan bagi guru.
Berdasarkan uraian di atas, dan juga uraian mengenai ragam arti pendidikan dan pengajaran, sekarang jelas betapa eratnya hakikat hubungan antara pendidikan dengan pengajaran. Namun, benarkah pendidikan lebih utama daripada pengajaran? Dapatkah pendidikan berjalan tanpa pengajaran? Apakah penyelenggaraan pengajaran tidak berarti juga penyelenggaraan pendidikan? Pertanyaan-pertanyaan  seperti inilah yang sering mengusik sebagian besar mahasiswa pembelajaran psikologi pendidikan khususnya yang penyusun kelola sendiri.
Selain itu, ada pula beberapa  macam  persepsi sumbang yang muncul di kalangan mahasiswa mengenai hakikat hubungan pendidikan dengan pengajaran, antara lain yang paling menonjol bahwa pendidikan itu:[3]
1.      jauh berbeda dengan pengajaran
2.      lebih penting dengan daripada pengajaran
3.      karena pengajaran hanya menanamkan pengetahuan ke dalam aspek kognitif (ranah cipta) dan sedikit memberikan keterampilan psikomotor, sedang aspek afektif (ranah rasa) tak pernah tersentuh.
Persepsi-persepsi seperti di atas tentu tidak akan ada dalam diri mahasiswa kalau bukan karena pengalaman belajar mereka dan  atas karena  kesaksian  mereka terhadap  kenyataan yang tampak di lapangan. Namun apa pun alasannya, mengubah  persepsi yang kurang selaras dengan prinsip-prinsip psikologi pendidikan itu ternyata tidak gampang. Kesukaran yang  penyusun  hadapi acapkali  semakin parah ketika mereka menyatakan bahwa persepsi tersebut “pas benar” dengan penjelasan beberapa staf pengajar mata kuliah lain yang di antaranya konon lebih senior daripada penyusun. Adalah  persepsi yang  keliru apabila pendidikan  dianggap  jauh  berbeda dengan pengajaran. Pengajaran boleh jadi tidak sama persis dengan pendidikan, tetapi tidak berarti di antara keduanya terdapat jurang pemisah yang mengakibatkan timbulnya perbedaan yang  mencolok. Pendidikan  boleh juga dipandang lebih utama daripada  pengajaran dalam arti sebagai konsep ideal (sebagai landasan hukum). Namun, sulit dipercaya apabila ada sebuah sistem pendidikan dapat berjalan tanpa pengajaran. Oleh karena itu, pengajaran dengan segala bentuk dan perwujudannya seyogiyanya dipandang sebagai konsep operasional yang berposisi  lebih kurang  setara kalau bukan persis dengan pendidikan sebagai konsep ideal. Alhasil, menurut hemat penyusun, hakikat hubungan antara pendidikan dengan pengajaran itu kira-kira ibarat dua sisi mata uang logam yang satu sama lain saling memerlukan.
Selanjutnya, istilah pendidikan memang mengandung arti yang luas, yakni  meliputi semua upaya menumbuhkembangkan seluruh kemampaun ranah psikologis individu manusia yang terkadang dapat dilakukan dengan cara self-instruction (mengajar diri sendiri). Cara melakasanakan pendidikan disebut mendidik. Jadi, seorang guru sehari-harinya mengajar agama mislanya, ia dapat juga disebut sebagai pendidik agama selain pengajar agama.
Di pihak lain, jika orangtua berkehendak mendidik anaknya dalam bidang agama, maka ia tak akan terlepas dari upaya pengajaran agama dengan cara dan kemampuannya sendiri. Dalam hal ini, pengajaran agama orang tua itu tentu tidak harus dilaksanakan dengan cara berceramah seperti guru kelas, tetapi dengan memberi wejangan, teladan, dan bimbingan praktis sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya.
Sebagai catatan penguat uraian mengenai peranan pengajaran, penyusun  utarakan sebuah asumsi bahwa dalam  pelaksanaan sehari-hari, proses pengajaran itu (taklim) sudah lebih dahulu ada dan lebih universal daripada pendidikan (tarbiyah). Sebagai bukti, ketika Rasulullah SAW mengajarkan Tilawatul Quran kepada para sahabatnya, beliau tidak membatasi sampai mereka pandai membaca kitab suci secara fasih tetapi lebih jauh lagi, mereka diajari sampai pandai membaca Al-Qur’an dengan renungan  pemahaman, tanggung jawab, dan penanaman amanah (Jalan, 1988).
Berdasarkan alasan-alasan di atas, nyatalah bahwa pengajaran memiliki signifikansi yang vital dalam proses pendidikan. Bahkan karena demikian pentingnya arti pengajaran (taklim) maka Al-Qur’an mengungkapkan istilah ini berkali-kali, antara lain:[4]
1.      Dalam Al-Baqarah: 31,
Dan Allah telah ‘mengajarkan’ kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya.
2.      Dalam Al-Baqarah: 151,
Allah telah ‘mengajarkan’ kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
Kemudian, perhatikanlah Al-Baqarah: 282, Al-Kahfi: 65; dan Al-Rahman: 2 dan 4.
Sementara itu, kata “tarbiyah” (pendidikan) dalam Al-Qur’an hanya terdapat dalam:
1.     Surah Bani Israil: 24
Dan ucapkanlah ‘Ya Tuhan, kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka telah “mendidik” aku (rabbayani) waktu kecil.
2.     Surah Asy Syu’ra : 18
Fir’aun menjawab: Bukankah kami telah ‘mengasuhmu’(nurabbika) di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu
Kata “waktu kecil” (shaghiran) dan kata “kanak-kanak” (walidan) di antara ayat-ayat di atas, menunjukkan bahwa pendidikan itu terutama merupakan kewajiban keluarga, khususnya ketika anak-anak dalam fase perkembangan awal yakni masa bayi dan anak-anak.












BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pendidikan dan pegajaran sangatlah berkaitan jika ingin mencapai tujuan untuk menghasilkan seorang peserta didik yang memiliki akhlak baik dan pandai. Karena pendidikan lebih mengacu pada akhlak budi pekerti yang baik sedangkan pengajaran lebih mengacu kepada kepandaian, yang jika salah satunya di abaikan maka maka akan timbul ketidak seimbangan dalam mencapai tujuan tersebut. Dan semua itu bertujuan mencerdaskan anak didik yang berkualitas supaya dapat bersaing dengan Negara yang lebih maju.
B.     Kritik dan Saran


















DAFTAR PUSTAKA

Lagulung, Hasan, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta:PT. Al-Husna Zikra, 2000

Tohirin, M.S., Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Muhibbin Syah, M.Ed., Psikologi pendidikan dengan pendekatan baru, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008









[1] Muhibbin Syah, Psikologi pendidikan dengan pendekatan baru, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2008, halaman.32
[2] Muhibbin Syah, Psikologi pendidikan dengan pendekatan baru, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2008, halaman.34
[3] Tohirin, M.S., Psikologi pembelajaran pendidikan islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Halaman.42
[4] Muhibbin Syah, Psikologi pendidikan dengan pendekatan baru, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2008, halaman.37
Author Image
AboutDika Ayu Rahmawati

Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

1 comment: