PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL YANG LUAS
DALAM PEMILU DEMOKRASI DI INDONESIA
Oleh: M. Ali Shofan
Mahasiswa Program Studi Pendidikan
Guru Madrasah Ibtidaiyah
Siman - Sekaran – Lamongan
Sudah sejak dua pemilihan umum nasional terakhir
(2009 dan 2014) media sosial menjadi suatu ranah baru yang perlu
diperhitungkan. Silakan dicermati, dalam dua pemilu terakhir itu kita melihat
penggalangan massa kampanye dalam bentuk pawai, pertemuan besar di lapangan
terbuka, dan sebagainya, mendapat saingan berat dengan adanya media sosial,
yang telah menghasilkan lapangan baru untuk berkompetisi, saling cari simpati,
serta mencerca para pesaing. Media sosial dipandang memiliki perang penting
yang dapat memberi pengaruh terhadap pelaksanaan dan hasil pemilihan umum
(pemilu) 2014. Oleh karena itu, siapapun yang berkepentingan terhadap pemilu
2014, seyogianya tidak melupakan media sosial.
Demikian pandangan peneliti Lembaga Survei
Nasional (LSN) Dipa Pradipta di Jakarta, Minggu (9/2/2014). Media sosial
memiliki peran penting, kata dia, mengingat sebagian besar penggunanya adalah
remaja. Mereka adalah para pemilih pemula yang terus tumbuh. Perilaku para
pemilih pemula ini adalah selalu mencari informasi melalui media sosial.
"Pemilih pemula berusia 17 sampai 30 tahun porsinya lumayan banyak.
Mencapai sekitar 27 juta suara yang diperebutkan," kata Dipa. Dia
mengatakan, media sosial menjadi wadah yang sangat mudah untuk memberikan
tanggapan positif maupun negatif terhadap para peserta pemilu. "Di
media sosial orang bebas mengeluarkan pendapat apapun, kritikan, pendapat dan
pujian. Media sosial juga sebagai media yang mudah diakses. Info yang
didapatkan juga banyak," tuturnya.
Tapi faktanya seperti yang kita ketahui pada
saat ini, Kita sama-sama tahu bahwa fenomena hoaks telah mencemari atau menebar
racun dalam demokrasi yang kita jalani saat ini. Filsuf Jerman, Jurgen
Habermas, percaya bahwa masyarakat perlu menerapkan apa yang ia sebut sebagai
demokrasi deliberatif, yaitu kesempatan kepada banyak pihak untuk menyampaikan
pendapat mereka, yang paling berbeda sekalipun, dan kemudian membiarkan
masyarakat mengambil keputusan atas informasi yang beragam tersebut.
Hoaks di sini bukanlah merupakan bagian dari
demokrasi karena jika diteropong lewat pendekatan kebebasan memperoleh
informasi (freedom
of information), masyarakat perlu memiliki informasi yang lengkap
dan terbuka untuk mengambil keputusan dalam pelbagai aspek kehidupannya. Apa
yang akan terjadi jika informasi yang ingin dijadikan pegangan ialah informasi
yang tak akurat, sengaja dipelintir ataupun difabrikasi? Hoaks ini racun bagi
suatu kebebasan memperoleh informasi, sementara kita sering mendengar bahwa
kebebasan memperoleh informasi adalah oksigen bagi demokrasi.
Media sosial di Indonesia yang terkait dengan
politik berkembang atas tiga motif dasar menurut saya. Pertama ialah sebagai
bagian dari perluasan pengaruh politik dari kandidat tertentu kepada para
konstituennya ataupun kepada mereka yang belum punya pilihan.
Kedua, sebagai bagian dari strategi kampanye
sekaligus strategi menyerang yang ditujukan pada pihak lawan. Ketiga, sebagai
bagian dari kegiatan ekonomi yang bisa bertumpang tindih
dengan motif lainnya.