Oleh: Zahrotul Luthfiyah
(PGMI Semester VII STITAF Siman Sekaran
Lamongan)
Setiap
pemerintahan yang menganut hukum maka dalam setiap pemerintahan yang
dijalankannya diatur berdasarkan norma-norma hukum yang berlaku. Demikian pula
dalam menentukan siapa yang akan memimpin Negara tersebut maka harus mengikuti
aturan yang berlaku. Seperti contoh Negara Indonesia yang menganut asas
Demokrasi Pamcasila. Yakni hukum yang berlaku di Indonesia adalah Demokrasi
Pamcasila. Dalam pemilu yang akan dilaksanakan pada beberapa bulan ke depan,
tepatnya pada 17 April 2019 yang akan dilaksanakan secara serentak di seluruh
daerah yang ada di Indonesia. Pemilu serentak ini apakah dapat mewujudkan
Demokrasi Pancasila yang diharapkan oleh seluruh lapisan masyarakat di
Indonesia atau malah menjadi terpuruknya nilai-nilai Demokrasi Pancasila yang
akan menjadi ancaman bagi Negara Indonesia?
Demokrasi
di negara manapun di dunia ini, akan mengikuti 4 skenario evolusi, yakni
membaik, stagnan, menurun atau gagal. Kita semua tentu sangat menginginkan
bahwa keberhasilan demokrasi harus kita bangun, dengan segala daya dan upaya
dalam setiap langkah oleh segenap elemen bangsa ini. Pemilihan umum di tingkat
nasional atau daerah hanya sebuah tools dan sarana dari demokrasi itu
sendiri. Membangun demokrasi memang tidak cukup pemilu satu, banyak aspek dan
elemen lain yang harus ikut membangun demokrasi.
Pilkada
serentak pertama kali yang telah diselenggarakan pada tahun 2015 memberikan
banyak pembelajaran dan dinamika pemikiran baru kepemiluan lokal. Beberapa
bulan sebelum pelaksanaan sejumlah aktivis pemilu dan calon peserta pemilu
mengajukan gugatan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi terhadap suatu norma
dalam UU Pilkada yang dianggap merugikan hak-hak konstitusionalnya.
Selanjutnya, pasca pelaksanaan pilkada serentak tahun 2015 hingga gugatan MK,1 terdapat
pembelajaran yang tidak kalah pentingnya, mulai dari syarat selisih suara yang
diatur dalam Pasal 157 UU Pilkada untuk dapat diajukan gugatan penyelesaian
perselisihan hasil pilkada, hingga syarat calon perseorangan. Dinamika tersebut
pada akhirnya berlanjut pembahasan-pembahasan di DPR & KPU sebagai
evaluasi, koordinasi dan konsolidasi. Kemudian kelompok civil society dari
kalangan universitas dan NGO pegiat pemilu melakukan diskusi maupun
seminar-seminar, sehingga dorongan untuk merevisi UU Pilkada semakin kuat dan
akhirnya direvisi. Menjadi agenda prioritas Komisi II DPR RI untuk membahasnya,
dinamika terus berkembang di Komisi II hingga disahkannya Undang-Undang Nomor
10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-UndangNomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Pemilu
dan pemilukada sebagai salah satu bentuk nyata perwujudan demokrasi dalam
pemerintahan daerah, seyogyanya juga semakin mencerminkan proses kematangan
berdemokrasi. Walaupun demikian, implmentasi di lapangan masih menunjukkan
adanya fenomena yang merusak citra pemilu dan pemilukada itu sendiri, seperti money
politics, ketidaknetralan aparatur penyelenggara, kecurangan berupa
pelanggaran kampanye dan penggelembungan suara, serta penyampaian pesan-pesan politik
yang bernuansa sektarian berujung kepada retaknya bingkai harmonisasi kehidupan
masyarakat. pada segi lain, ketidaksiapandan ketidakdewasaan para kandidat dan
pendukungnya untuk mensyukuri kemenangan dan menerima kekalahan yang sering
diwujudkan dalam bentuk aksi-aksi yang menghalalkan segala cara, telah memicu
konflik dan anarkhisme massa di berbagai daerah.
Pemilu
dan pemilukada belum dimaknai secara lebih komprehensif sebagai cara yang
berbudaya untuk menumbuhkan nilai-nilai kejujuran, ketertiban, dan keadilan,
tetapi lebih mengedepankan keinginan untuk menang dengan segala cara, sekalipun
melanggar norma hukum yang telah ditetapkan. Padahal, jika pemilu dan
pemilukada sebagai proses pembudayaan, maka ia tidak menghendaki kekerasan,
intimidasi, dan ketidakjujuran. Pemilu dan pemilukada adalah cara menjinakkan
kekerasan sekalipun untuk menang sebagai pemimpin. Hal ini menggantikan
cara-cara pertumpahan darah seperti yang dilakukan raja-raja terdahulu dalam
perebutan kekuasaan.Dalam situasi demikian, rakyat menjadi obyek sasaran yang
memangkas kebebasan rakyat tidak kuasa lagi, sehingga kontradiktif dengan makna
demokrasi itu sendiri yang dimaknai dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Kata yang terakhir menjadi pertanyaan mendasar, apakah untuk rakyat semuanya
itu?
Politik
hukum pemilu dan pemilukada mengalami perubahan terus-menerus seiring dengan
perkembangan masyarakat, relevansi dalam praktik ketatanegaraan atau budaya
berdemokrasi serta perubahan pemikiran hukum dan politik baik eksekutif, legislator
maupun masyarakat pada umumnya. Melalui pengalaman-pengalaman pemilu presiden
dan wakil presiden, pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD, serta
pemilihan kepala daerah, setidak-tidaknya terdapat empat pihak yang mempengaruhi adanya
perubahan politik hukum pemilu dan pemilukada yang pernah dialami di Indonesia,
yakni pertama, DPR dalam hal mengajukan usulan dan membahas revisi
undang-undang pemilu/pilkada; kedua, Presiden dalam hal mengajukan
usulan revisi Undang-Undang atau mengajukan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu); ketiga, Mahkamah Konstitusi, dalam hal menguji
UU/Perppu terhadap UUD 1945 dan menyelesaikan sengketa pemilu/pemilukada; dan keempat,
Komisi Pemilihan Umum, melalui Peraturan KPU terkait pelaksanaan teknis dan
aturan main dalam pemilu dan pilkada.
Kerangka
konseptual pilkada oleh rakyat yang dibangun bukan hanya terkait erat dengan
praktik desentralisasi dan otonomi daerah, melainkan juga berkorelasi positif
terhadap terwujudnya pemerintahan daerah yang demokratis, pemberdayaan dan
kesejahteraan rakyat. Meskipun secara teoritis argumentasi tersebut bisa
diperdebatkan, tak sedikit akademisi yang memercayai bahwa pilkada langsung
merupakan prasyarat bagi terwujudnya pemerintahan daerah yang partisipatif,
transparan dan akuntabel (good governance). Namun, berhasil tidaknya
sangat tergantung pada komitmen para stakeholders terkait dalam
meminimalisasi kecenderungan perilaku menyimpang.
Demokrasi
substantif menyongsong dalam waktu dekat ini pemilu nasional 2019 perlu
dibangun. Muaranya ada di perilaku yang teladan penyelenggara pemilu, peserta
pemilu dan pemilukada, perilaku yang demokratis baik yang ditunjukkan oleh para
elite, penyelenggara pemerintahan daerah maupun tokoh masyarakat masih minim.
Para elite/aktor politik seringkali menjadi faktor penghambat dalam proses
demokratisasi lokal. Banyak diantara mereka yang tidak siap kalah menghalalkan
segala cara. Sejauh ini kampanye lebih merupakan dagelan politik ketimbang
janji tulus untuk menyejahterakan rakyat. Penilaian yang seperti ini perlu
dihilangkan menuju demokrasi yang substantif dan berorientasi kepada
kesejahteraan masyarakat daerah.
Pasca Orde Baru,
sistem pemilu Indonesia mengalami berbagai pergeseran. Sistem pemilu yang
dianut di Indonesia saat ini adalah sistem pemilu yang dilakukan dalam tahapan pemilu
legislatif (pileg), pemilu presiden (pilpres) serta pemilihan kepala daerah
provinsi dan kabupaten/kota (pilkada). Pemisahan sistem pemilu tersebut,
dinilai kurang efektif dan efisien dalam pelaksanaan pemilu yang menganut
pemerintahan sistem presidensial, karena menimbulkan berbagai permasalahan,
seperti konflik yang terus terjadi antara berbagai kepentingan kelompok maupun
individu, pemborosan anggaran dalam penyelenggaraannya, maraknya politik uang, politisasi
birokrasi, serta tingginya intensitas pemilu di Indonesia. Intensitas
penyelenggaraan pemilu, pilpres dan pilkada yang terlampau sering tersebut berdampak
pada rendahnya tingkat partisipasi sebagai akibat kejenuhan publik.
Persoalan lain
dari format pemilu tersebut adalah fakta bahwa penyelenggaraan pemilu legislatif
selalu mendahului pemilu presiden, padahal pada saat yang sama kita sepakat
untuk memperkuat sistem presidensial. Pemilu legislatif yang mendahului pemilu
presiden dalam skema presidensial jelas
sebuah anomali, mengingat di dalam sistem presidensial lembaga eksekutif terpisah
dari lembaga legislatif. Di sisi lain, penyimpangan ini beresiko pada
implementasi sistem presidensial itu sendiri, baik dalam praktek politik dan
pemerintahan. Salah satu resiko itu adalah berlangsungnya pencalonan pilpres
yang “didikte” oleh hasil pemilihan legislatif. Artinya, tidak semua parpol
bisa mengajukan pasangan calon untuk pemilihan umum presiden. Hanya parpol atau
gabungan parpol yang memenuhi syarat ambang batas perolehan suara atau kursi
minimal tertentu yang dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil
presiden. Untuk Pilpres 2009 dan 2014 misalnya, hanya parpol atau gabungan
parpol yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 25% atau perolehan kursi DPR
sekurang-kurangnya 20% yang dapat mengajukan pencalonan dalam pilpres. Dengan
demikian, nampak jelas bahwa baik pemilu legislatif (pileg) maupun pemilu
presiden (pilpres) belum dirancang untuk memperkuat dan meningkatkan
efektivitas pemerintahan presidensial. Pileg diselenggarakan hanya untuk
sekedar mengisi keanggotaan lembaga-lembaga legislatif. Sementara pilpres
dengan seluruh prosesnya dilaksanakan hanya untuk memilih presiden dan wakilnya
tanpa dikaitkan dengan kebutuhan akan optimalisasi kinerja pemerintahan
presidensial hasil pemilu itu sendiri. Singkatnya, tujuan governability atau
terbentuknya pemerintahan yang dapat memerintah secara efektif, cenderung
terabaikan dalam format pemilu-pemilu kita (Haris, dkk., 2014: 9-11).
Untuk menjawab
berbagai permasalahan tersebut, diperlukan adanya terobosan kebijakan solutif
berupa rumusan desain/format pemilu dengan hasil yang mampu menjamin
terlaksananya efektivitas dan optimalisasi sistem presidensial yang responsif
dan partisipatif. Selain itu dari segi teknis, desain/format tersebut mampu
menjadi penawar atas kejenuhan publik. Sehingga pada akhirnya partisipasi
masyarakat dalam demokrasi elektoral pun meningkat dengan harapan pemilu akan
menjadi intermediant pewujudan demokrasi yang lebih substansial.
Terkait
dengan kondisi tersebut, Mahkamah
Kostitusi mengeluarkan Putusan Nomor 14/PUUXI/2013 Perihal Pengujian
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden (selanjutnya Putusan
Mahkamah Konstitusi, 2013), yang memiliki konsekuensi
pemilu serentak pada Pemilu 2019. Namun pemilu serentak sebagai putusan MK
tersebut dalam pandangan beberapa kalangan dirasa
belum menjanjikan hasil pemilu yang mampu
menjamin terciptanya pemerintahan yang stabil dan efisien, khususnya dalam
upaya penguatan sistem presidensial yang
selama ini diterapkan di Indonesia. Kemudian, dari segi teknis pelaksanaan
belum tentu mampu menopang peningkatan angka partisipasi pemilih atau mampu
menjadi penawar kejenuhan publik akibat dari
intensitas pelaksanaan pemilu yang terlalu sering.
Untuk
itu dibutuhkannya konsistensi penegakan hukum untuk taat terhadap sejumlah
perangkat hukum pelaksanaan dan prosedur yang beserta sanksi dalam
penyelenggaraan pemilu. Aspek kepastian hukum dan aspek budaya hukum sangat
penting dipenuhi agar tujuan pemilu dan pemilukada dapat mencapai sasaran yang
diidealkan. Selain itu, penyelenggara pemilu ditingkat pusat maupun daerah,
beserta peserta pemilu dan pemilukada wajib mematuhi peraturan perundangan,
mulai dari Peraturan KPU, Undang-Undang, maupun ketaatan dalam menjalankan
putusan Mahkamah Konstitusi.
Penulis
memberikan simpulan bahwa Pembaharuan politik hukum pemilu dan pemilukada pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam struktur ketatanegaraan Indonesia
berimplikasi kepada perubahan sistem, mekanisme dan pola penyelenggara pemilu
dan pemilukada maupun peserta pemilu dan pemilukada. Atas beberapa pengalaman
empirik yang dipertunjukkan dalam penyelenggaraan pemilu dan pemilukada,
masyarakat berpikir dinamis untuk menata dan memperbaiki sistem, serta memiliki
kesadaran hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945 atas hak-hak politiknya
demi semangat membangun daerah melalui pemilihan kepala daerah untuk memilih
figur yang diidealkan.
Pemilihan Umum
2019 adalah pemilihan legislatif dengan pemilihan presiden yang diadakan secara
serentak. Hal ini dilakukan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14 /
PUU-11/2013 tentang pemilu serentak, yang bertujuan untuk meminimalkan pembiayaan
negara dalam pelaksanaan pemilu, meminimalisir politik biaya tinggi bagi peserta
pemilu, serta politik uang yang melibatkan pemilih, penyalahgunaan kekuasaan atau
mencegah politisasi birokrasi, dan merampingkan skema kerja pemerintah. Pemilu serentak
akan mempengaruhi komitmen penguatan partai politik dalam koalisi permanen untuk
memperkuat basis kekuatan mereka di lembaga-lembaga negara yang tinggi sehingga
dengan pemilu serentak diharapkan bisa memfasilitasi pembenahan Sistem Presidensial
di Indonesia. Untuk mewujudkan pemilihan 2019 yang simultan, ada peluang dan
tantangan yang salah satunya dapat dipelajari melalui perspektif politik.
Menurut hasil
penelitian, dalam mewujudkan pemilihan umum 2019 antara pemilihan legislatif
dan pemilihan presiden, ada beberapa hal yang menjadi peluang dan tantangan
dalam perspektif politik, baik untuk parpol, pemerintah, pemilih, dan penyelenggara
pemilu. Untuk itu, diperlukan upaya-upaya terkait bagaimana merancang pemilihan
yang serentak dalam perspektif politik, yakni dengan mereformasi sistem perwakilan,
sistem pemilihan, sistem kepartaian, dan dalam melaksanakan pemilihan umum
serentak 2019 memiliki tujuan menciptakan pemerintahan yang efektif. Sehingga
akan mewujudkan Demokrasi Pamcasila yang diidam-idamkan oleh seluruh masyarakat
Indonesia. Semuanya akan terwujud jika semua warga Negara mau memperbaiki
aturan dan sistem yang telah dibuat dan akan melaksanakannya dengan penuh
kesadaran.
Berdasarkan
pembahasan di atas, dapatlah dikemukakan bahwa dilihat dari perspektif politik,
pemilu nasional serentak memiliki sejumlah keuntungan yang bersifat hipotetik
dilihat dari sisi pelembagaan politik dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Pertama,
Pemilu nasional serentak bertujuan menciptakan hasil pemilu yang kongruen.
Secara akademis konsep pemilu serentak ini hanya memungkinkan berlaku dalam
sistem pemerintahan presidensial. Inti konsep ini adalah menggabungkan
pelaksanaan pemilu legislatif dan eksekutif dalam satu hari yang sama, sehingga
kemungkinan terciptanya pemerintahan yang kongruen, maksudnya terpilihnya
pejabat eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) yang mendapat dukungan
legislatif sehingga pemerintahan stabil dan efektif. kongruensi dapat tercipta
karena dalam pemilu serentak terdapat efek yang namanya coattail effect,
di mana keterpilihan calon presiden akan mempengaruhi keterpilihan calon
legislatif. Artinya, orang setelah memilih capres akan cenderung memberikan
pilihannya terhadap legislatif yang berasal dari partai yang mengusung
presiden.
Kedua, pemilu
nasional serentak ini mendorong terciptanya koalisi berbasis kebijakan, sebab
pemilu juga membutuhkan partai politik yang kuat dan daya tahan memadai dalam mewakili
kepentingan masyarakat dan menawarkan pilihan-pilihan kebijakan untuk
menunjukkan kemampuannya dalam menuju kebaikan umum dan sekaligus meminimalkan
pragmatisme politik yang kerap menjadi acuan aktor-aktor dan partai-partai
politik dalam berkoalisi. Dengan pemilu srentak, parpol diyakini tak bisa lagi
berkoalisi secara pragmatis. Parpol akan lebih selektif mencari calon, dan tak
sekadar mengandalkan pertimbangan matematis. Dalam jangka panjang, hal ini
diharapkan bermuara pada penyederhanaan sistem kepartaian secara alamiah.
Ketiga,
Pemilu nasional serentak mendorong kualitas Parpol yang lebih demokratis.
Kehadiran dan peran partai politik saat ini
menjadi prasyarat penting bagi praktik demokrasi modern, bahkan demokrasi modern adalah demokrasi partai. Sebagai
saluran utama pengajuan pasangan calon presiden
dan wakil presiden, demokratisasi internal partai politik menjadi sebuah
keniscayaan. Artinya, pasangan calon yang
diajukan harus berasal dari hasil sebuah proses yang terbuka dan partisipatif. Dengan cara seperti itu, posisi
sentral di partai politik tidak otomatis menjadi jalan
tol menjadi calon presiden dan/atau wakil presiden. Melihat realitas empirik
selama ini, mengharapkan semua partai politik
untuk lebih demokratis. Karena itu, tidak ada pilihan lain, kecuali Undang-undang tentang Partai Politik
memberikan paksaan yang tak mungkin dihindari. Dalam
hal ini, undang-undang tersebut harus menentukan kerangka dasar keterbukaan
proses pengajuan pasangan calon. Jika perlu,
sekiranya tidak melakukan proses terbuka dan partisipatif, partai politik bersangkutan kehilangan haknya
mengajukan pasangan calon.
Keempat,
pemilu nasional serentak potensial meminimalkan konflik antar partai atau
pendukung partai. Konflik tak lagi
berkepanjangan sepanjang tahun, sehingga dari sisi manajemen konflik jadi lebih mudah untuk ditangani. Energi pendukung
partai dapat diarahkan untuk kegiatan positif lain yang
mengarah pada pelembagaan partai politik. Bahkan pemilu nasional serentak lebih
efisien, hemat waktu dan hemat biaya.
Efisiensi dalam konteks pemilu serentak ini bisa dilihat dari beberapa aspek, antara lain efisiensi waktu dan biaya
pemilu. Selanjutnya dalam aspek efisiensi biaya politik, karena biaya kampanye caleg dan capres jadi satu maka politik
biaya tinggi sebagaimana praktik yang terjadi
saat ini bisa diminimalkan. Dampak positif lebih lanjut, berpotensi kurangi money
politics dan korupsi. Selain itu, dengan pemilu nasional serentak akan
terjadi perubahan drastic mengenai presidential threshold, sebab semua
partai politik yang lolos menjadi peserta pemilu akan bisa mengajukan calon
presiden dan calon wakil presiden. Bahkan, bisa jadi akan masuk juga calon
presiden independen.