Ulumul Hadits
A.
Pengertian
Ulumul Hadits
Ulum
al-hadits adalah ilmu
yang membahas sabda, perbuatan, pengakuan, gerak-gerik dan bentuk jasmaniyah
Rosulullah saw. beserta sanad dan ilmu pengetahuan untuk membedakan
keshahihannya, kehasanannya, keda’ifannya dan kepalsuan hadits, baik sisi matan
(teks hadits) maupun sisi sanadnya (mata rantai perawinya).
Sebagian
ulama’ juga membuat istilah lain, yaitu ushul al-hadits. Pengertian ushul
al-hadits adalah suatu ilmu pengetahuan yang menjadi sarana untuk
mengenal keshahihan, kehasanan,
keda’ifan dan kepalsuan hadits, baik sisi matan maupun sisi sanad hadits dan
untuk membedakan dengan yang lainnya.
Dengan
demikian cakupan ilmu hadits cukup luas, yakni segala pengetahuan tentang ihwal
perawi sampai bagaimana dibedakan keshahihan dan tidaknya sebuah hadits.
Dari
beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ulumul hadits adalah suatu
ilmu pengetahuan yang berisi tentang cara-cara bagaimana kita dapat mengetahui
suatu hadits itu shahih dan tidaknya dalam matan dan sanadnya dengan melihat
persambungan hadits tersebut sampai kepada Rosul.
Pembahasan
tentang sanad dan matan Hadis adalah dua hal yang penting yang berkaitan
langsung apabila salah satunya tidak ada maka akan berpengaruh terhadap
kualitas dari suatu hadits.
Pengertian sanad dan matan hadits baik dari segi bahasa
maupun istilah:
Ø Pengertian Sanad
Sanad secara bahasa artinya al-mu’tamad, yaitu yang
dipegang (yang kuat) yang bisa dijadikan pegangan. Sedangkan secara istilah
yaitu: “jalan yang menyampaikan kepada matan hadits.”
Dilihat dari suatu hadits terlihat adanya silsilah para
perawi yang membawa kita sampai kepada matan hadits, yaitu Bukhari, Muhammad
Ibn al-Mustanna, Abd al-Wahab, al-Tsahafi, Ayyub, Abi Qilabah, dan Anas Ra.
Rangakaian nama-nama itulah yang disebut dengan sanad dari
suatu hadits. Masing-masing orang yang menyampaikan suatu hadits secara
sendirian, disebut dengan rawi (perawi/periwayat), yaitu orang yang
menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa yang pernah didengar atau
diterimanya dari seseorang.
Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh beberapa orang
perawi, yaitu:
1. Anas Ra. Sebagai
perawi pertama
2. Abi Qilabah sebagai
perawi kedua
3. Ayyub sebagai perawi
ketiga
4.
Abd al Wahab al-tsaqofi
sebagai perawi keempat
5.
Muhammad ibn al-Mutsana
sebagai perawi kelima
6. Bukhari sebagai
perawi keenam atau terakhir
Apabila
dilihat dari segi sanad yaitu jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadits
maka adalah urutannya sebagai berikut:
1.
Muhammad ibn al-Mutsana
sebagai sanad pertama atau awwal al-sanad
2.
Abd al Wahab altsaqafi
sebagai sanad kedua
3.
Ayyub sebagai sanad ketiga
4.
Abi Qilabah sebagai sanad
keempat
5. Anas Ra. Sebagai
sanad kelima atau akhir sanad
Dengan
demikian berdasarkan sejarah periwayatan hadits, perawi mulai ditingkat sahabat
sampai kepada ulama hadits masa pembukuan hadits, telah melakukan pendokumentasian
hadits melalui hafalan dan tulisan.
Ø Pengertian Matan
Hadits
Matan secara bahasa artinya membelah, mengeluarkan,
mengikat. Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang berakhir padanya
(terletak sesudah) sanad, yaitu berupa perkataan.
Dalam matan terjadi perbedaaan kandungan matan suatu
hadits, dikarenakan adanya periwayatan hadits secara makna, meskipun dilakukan
selain sahabat dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
Yang benar-benar memiliki
pengetahuan bahasa arab secara mendalam
b.
Apabila dilakukan dengan
sangat terpaksa
c.
Apabila mengalami susunan
matan hadits yang diriwayatkan
Dengan melakukan
periwayatan secara makna memberi peluang untuk terjadinya keragaman
susunan redaksi matan hadits. Sehingga terjadi perbedaan kandungan matan.
Perbedaan redaksi matan hadits terjadi karena adanya perbedaan sanad hadits,
dan juga terjadi karena adanya perbedaan perawi.
B. Macam-macam Ulumul
Hadits
Pada dasarnya kajian hadits mencakup tiga hal. Pertama terkait dengan kajian sanad
hadits yang disebut ilmu hadits dirayah. Kedua tekait dengan kajian matan
hadits yang disebut ilmu hadits riwayah. Ketiga terkait dengan studi kritis
yang disebut takhrij hadits.
1. Pengertian ilmu
hadits dirayah
Ilmu hadits Dirayah, menurut bahasa dirayah berasal dari
kata dara-yadri-daryan yang berarti pengetahuan. Maka seringkali kita mendengar
Ilmu Hadits Dirayah disebut-sebut sebagai pengetahuan tentang ilmu Hadits atau
pengantar ilmu hadits.
Menurut imam Asuyuthi,
Ilmu Hadits Dirayah adalah ”ilmu yang mempelajari tentang hakikat periwayatan,
syarat-syaratnya, macam-macamnya dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi,
syarat-syarat mereka, macam-macam periwayatan, dan hal-hal yang berkaitan
dengannya”.
Ilmu hadits Dirayah disebut
juga dengan ilmu Musthalahul Hadits – undang-undang
(kaidah-kaidah) untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan
menyampaikan al-Hadits, sifat-sifat rawi dan lain sebagainya.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa Pengertian ilmu hadits dirayah adalah teori-teori
(kaidah-kaidah) untuk mengetahui ihwal perawi, sanad (mata rantai perawi),
cara-cara menerima dan menyampaikan hadits, sifat-sifat perawi dan lain
sebagainya.
2. Ilmu Hadits Riwayah
Menurut bahasa
riwayah berasal dari kata rawa-yarwi-riwayatan yang berarti annaql = memindahkan dan penukilan. Sedangkan ilmu hadits riwayah menurut
istilah adalah imu pengetahuan untuk mengetahui cara-cara penukilan,
pemeliharaan dan pendiwanan apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw,
baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun lainnya.
Menurut Syaikh
Manna’ A-Qhaththan, obyek pembahasan ilmu riwayatul hadits: sabda Rasulullah,
perbuatan beliau, ketetapan beliau, dan sifat-sifat beliau dari segi
periwayatannya secara detail dan mendalam. Faidahnya: menjaga As-Sunnah dan
menghindari kesalahan dalam periwayatannya.
Sementara itu,
obyek Ilmu Hadits Riwayah, ialah membicarakan bagaimana cara menerima,
menyampaikan pada orang lain dan memindahkan atau membukukan dalam suatu Kitab
Hadits. Dalam menyampaikan dan membukukan Hadits, hanya dinukilkan dan dituliskan
apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya.
Jadi jelaslah,
dari definisi diatas kita dapat menarik beberapa point, yaitu
:
Ø Objek Ilmu Hadits Riwayah adalah matan atau isi hadits yang
disandarkan kepada Nabi, Sahabat dan Tabiin.
Ø Ilmu Hadits Riwayah mempelajari periwayatan yang
mengakumulasikan apa, siapa dan dari siapa suatu riwayat.
Ø Fokus kajian Ilmu Hadits Riwayah adalah Matan Hadits. Namun
tidak mungkin ada matan tanpa disertai Sanad Hadits.
Meskipun
demikian, ilmu hadis riwayah ini sudah ada sejak periode Rasulullah SAW
sendiri, bersamaan dengan dimulainya periwayatan hadis itu sendiri. Sebagaimana
diketahui, para sahabat menaruh perhatian yang tinggi terhadap hadis Nabi SAW.
Mereka berupaya mendapatkannya dengan menghadiri majelis Rasulullah SAW serta
mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan Nabi SAW.
Kehadiran
hadits sebagai sumber pokok ajaran islam, memang banyak dipersoalkan, hal ini
berkaitan dengan matan, perawi, sanad dan lainnya, yang kesemuanya menjadi
boleh atau tidaknya suatu hadits untuk dijadikan hujjah. Terlepas dari itu,
perbedaan sahabat dalam memahami hadits pun menjadi hal yang penting untuk
ditelaah lebih lanjut, karena perbedaan pemahaman tersebut mengakibatkan
periwayatan pun menjadi berbeda.
Hal
inilah yang menjadi salah satu penyebab suatu hadits diperselisihkan oleh para
ulama tentang kehujjahannya. Perbedaan pemahaman hadits yang dilakukan para
sahabat antara tekstual dengan kontekstual melahirkan apa yang disebut dengan
“Hadits Riwayah Bil-lafdzi” dan “Hadits Riwayah Bil-ma’na.”
1) Hadits
riwayah bil-lafdzi
Meriwayatkan hadits dengan lafadz adalah meriwayatkan
hadits sesuai dengan lafadz yang mereka terima dari Nabi saw dan mereka hafal
benar lafadz dari Nabi tersebut. Atau dengan kata lain meriwayatkan dengan
lafadz yang masih asli dari Nabi saw. Riwayat hadits dengan lafadz ini
sebenarnya tidak ada persoalan, karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik
melalui perkataan maupun perbuatan, dan pada saat itu sahabat langsung menulis
atau menghafalnya.
Hal ini dapat kita lihat pada hadits-hadits yang memakai
lafadz-lafadz sebagai berikut:
a.
(Saya mendengar Rasulullah saw)
Artinya: Dari Al-Mughirah ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw.
bersabda: “Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama
orang lain, dan barang siapa dusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya
ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim dan lain-lainnya)
b.
Artinya: Telah bercerita kepadaku
Malik dari Ibnu Syihab dari Humaidi bin Abdur Rahman dari Abi Hurairah bahwa
Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang beramadhan dengan iman dan mengharap
pahala, dihapus doasa-dosanya yang telah lalu.”
c.
Artinya: Dari Abbas bin Rabi’ ra.,
ia berkata: Aku melihat Umar bin Khaththab ra., mencium Hajar Aswad dan ia
berkata: “Sesungguhnya benar-benar aku tahu bahwa engkau itu sebuah batu yang
tidak memberi mudharat dan tidak (pula) memberi manfaat. Seandainya aku tidak
melihat Rasulullah saw. menciummu, aku (pun) tak akan menciummu.” (HR. Bukhari
dan Muslim).
Hadits
yang menggunakan lafadz-lafadz di atas memberikan indikasi, bahwa para sahabat
langsung bertemu dengan Nabi saw dalam meriwayatkan hadits. Oleh karenanya
para ulama menetapkan hadits yang diterima dengan cara itu menjadi hujjah,
dengan tidak ada khilaf.
2)
Hadits
riwayah bil-ma’na
Meriwayatkan hadits dengan makna adalah meriwayatkan hadits
dengan maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang
meriwayatkan. Atau dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya
dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafadz atau
susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama daya
ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan
masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sementara apa
yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya.
Menukil atau meriwayatkan hadits secara makna ini
hanya diperbolehkan ketika hadits-hadits belum terkodifikasi. Adapun
hadits-hadits yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu
(seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafadz/matan yang
lain meskipun maknanya tetap.
Adapun
contoh hadits ma’nawi adalah sebagai berikut:
a.
Artinya: Ada seorang wanita datang
menghadap Nabi saw, yang bermaksud menyerahkan dirinya (untuk dikawin) kepada
beliau. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berkata: Ya Rasulullah, nikahkanlah
wanita tersebut kepadaku, sedangkan laki-laki tersebut tidak memiliki sesuatu
untuk dijadikan sebagai maharnya selain dia hafal sebagian ayat-ayat Al-Qur’an.
Maka Nabi saw berkata kepada laki-laki tersebut: Aku nikahkan engkau kepada
wanita tersebut dengan mahar (mas kawin) berupa mengajarkan ayat Al-Qur’an.
Dalam satu riwayat disebutkan: “Aku
kawinkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar berupa (mengajarkan)
ayat-ayat Al-Qur’an”. Dalam riwayat lain disebutkan: “Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut atas dasar mahar berupa
(mengajarkan) ayat-ayat Al-Qur’an”. Dan dalam riwayat lain
disebutkan: “Aku jadikan wanita tersebut milik engkau dengan mahar berupa
(mengajarkan) ayat-ayat Al-Qur’an”. (Al-Hadits)
Secara lebih terperinci dapat dikatakan
bahwa meriwayatkan hadits dengan maknanya itu sebagai berikut:
a)
Tidak diperbolehkan, pendapat
segolongan ahli hadits, ahli fiqh dan ushuliyyin.
b)
Diperbolehkan, dengan syarat yang
diriwayatkan itu bukan hadits marfu’.
c)
Diperbolehkan, baik hadits itu
marfu’ atau bukan asal diyakini bahwa hadits itu tidak menyalahi lafadz yang
didengar, dalam arti pengertian dan maksud hadits itu dapat mencakup dan tidak
menyalahi.
d)
Diperbolehkan, bagi para
perawi yang tidak ingat lagi lafadz asli yang ia dengar, kalau masih ingat maka
tidak diperbolehkan menggantinya.
e)
Ada pendapat yang mengatakan bahwa
hadits itu yang terpenting adalah isi, maksud kandungan dan pengertiannya,
masalah lafadz tidak jadi persoalan. Jadi diperbolehkan mengganti lafadz dengan
murodifnya.
f)
Jika hadits itu tidak mengenai
masalah ibadah atau yang diibadati, umpamanya hadits mengenai ilmu dan
sebagainya, maka diperbolehkan dengan catatan:
·
Hanya pada periode sahabat
·
Bukan hadits yang sudah didewankan
atau di bukukan
·
Tidak pada lafadz yang diibadati,
umpamanya tentang lafadz tasyahud dan qunut.
Sedangkan Ilmu Hadits ialah seperangkat
kaidah yang mengatur tentang anatomi dan morfologi hadits. Pengolahan anatomi
hadits disebut Ilmu Hadits Riwayah dan pengolahan morfologi hadits
disebut Ilmu Hadits Dirayah. Dua bidang ilmu itu bergerak
terus, dan berkembang sesuai kebutuhan, untuk menformatisasikan isi hadits Nabi
kepada lokasi atau kepada perkembangan masyarakat.
Meskipun demikian, ilmu hadis riwayah ini
sudah ada sejak periode Rasulullah SAW sendiri, bersamaan dengan dimulainya
periwayatan hadis itu sendiri. Sebagaimana diketahui, para sahabat menaruh
perhatian yang tinggi terhadap hadis Nabi SAW. Mereka berupaya mendapatkannya
dengan menghadiri majelis Rasulullah SAW serta mendengar dan menyimak pesan
atau nasihat yang disampaikan Nabi SAW.
Dari definisi tentang ilmu hadits dirayah
dan ilmu hadits riwayah diatas dapat dipahami tentang faedah, objek dan
perintis masing-masing ilmu. Ilmu hadits riwayah objeknya adalah matan hadits.
Artinya bagaimana pemaknaan terhadap hadits ini, bagaimana seandainya terjadi
kontradiksi baik dengan sesama hadits maupun dengan al Qur’an, termasuk ma’mul
dan tidak ma’mulnya sebuah hadits dan lainnya. Serta bagaimana cara menerima,
menyampaikan kepada orang dan memindahkan atau mendewankan dalam suatu Dewan
Hadits, baik mengenai matan maupun sanadnya.
Faedahnya adalah untuk mengetahui aspek
validitas sebuah hadits dan untuk menghindari adanya kemungkinan salah kutip
terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan obyek ilmu hadits dirayah adalah
meneliti masing-masing keadaan perawi hadits, ketersambungan dan tidaknya sanad
(mata rantai perawi) dan lainnya. Menurut sebagian ulama, yang menjadi obyeknya
ialah Rasulullah SAW sendiri dalam kedudukannya sebagai Rasul Allah. Faedahnya
adalah untuk menetapkan status hadits, shahih, hasan, dhaif dan kepalsuannya,
serta untuk menetapkan maqbul (dapat diterima) atau mardudnya (tertolaknya)
suatu hadits dan selanjutnya untuk diamalkannya yang maqbul dan ditinggalnya
yang mardud.
3. Ilmu takhrij hadits
Ilmu
takhrij hadits adalah seperangkat ilmu yang fokusnya menunjukkan keberadaan
suatu hadits pada referensi utamanya dan menjelaskan derajat hadits tersebut.
Ilmu ini akhirnya berkembang dengan fokus kolaborasi kajian hadits baik sisi
sanad maupun matan hadits untuk mengetahui otentisitas sebuah hadits dan
validasinya.
C.
Cabang-Cabang Ulumul Hadits
Dari ilmu hadits
riwayah dan dirayah, pada perkembangan berikutnya muncullah cabang-cabang ilmu
hadits lainnya, diantaranya :
Ø Ilmu Rijal al-Hadits
Ø Ilmu Al-jarh wa At-Ta’dil
Ø Tarikh al-Ruwah
Ø Ilmu ‘llal Al-Hadits
Ø Ilmu
Al-nasikh wa Al-mansukh
Ø Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits
Ø Ilmu Gharib Al-Hadits
Ø Ilmu Nasakh Wa Al-Mansukh Al-Hadits
Ø Ilmu Mukhtalaf Al-Hadits
Dalam pembahasan ini, kami akan
menguraikan satu persatu ilmu-ilmu diatas:
a)
Ilmu Rijal
al-Hadits
Ilmu Rijal
al-Hadits ialah “Ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam kapasitasnya
dalam perawi hadits”. dalam buku ilmu hadits (kajian riwayah dan dirayah )
karangan Prof. DR. H. Endang Soetari AD.,M.Si. disebutkan Ilmu Rijal al- Hadits
adalah ilmu yang membahas tentang hal ihwal dan sejarah para rawi dari kalangan
sahabat, tabi’in dan atba’ al-Tabi’in. para ulama muhaditsin mendefinisikan
ilmu Rijal al- Hadits ialah ilmu yang membahas tentang para perawi dan
biografinya dari kalangan sahabat, tabi’in dan tabi’ut Al- Tabi’in.
Ilmu ini sangat
penting kedudukannya dalam dalam lapangan ilmu hadits. Karena obyek kajian hadits pada
dasarnya ada dua hal, yaitu matan dan sanad. Ilmu Rijalul Hadits ini lahir
bersama-sma dengan periwayatan hadits dalam Islam dan mengambil kedudukan
khusus untuk mempelajari persoalan-persoalan sanad.
b)
Ilmu al- Jarh wa
at- Ta’dil
Ilmu al- Jarh, dan secara bahasa berarti luka, cela, atau
cacat, adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti
pada keadilan dan kedhabitanya. Para ahli hadits mendefinisikan al-Jarh dengan:
“kecacatan para perawi hadits disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak
keadalian atau kedhabitan perawi”.
Sedang at- Ta’dil secara bahasa berarti at- Tasywiyah (menyamakan) menurut istilah berarti: “lawan dari al- Jarh, yaitu
pembersihan atau pensucian perawi dan perawi dan ketetapan, bahwa ia adil atau
dhabit”, Ulama lain mendefinisikan al- Jarh dan at- Ta’dil dalam satu definisi
yaitu ilmu yang membahas tentang para perwai hadits dari segi yang dapat
menunjukkan keadaan mereka, dengan ungkapan atau lafaz tertentu.
Ilmu ini
digunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima
atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi “ Jarh” oleh para ahli
sebagai rawi yang cacat maka periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya, bila
dipuji maka haditsnya bisa diterima Selama syarta-syarat yang lain dipenuhi.
Kecacatan rawi
itu bisa ditelusuri melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, biasanya
dikatagorikan dalam lingkup perbutan:
ü bid’ah,
yakni melakukan tindakan tercela atau diluar ketentuan Syariah
ü Mukalaf, yakni berbeda dengan periwayatan dari rawi yang
lebih Tsiqqah
ü Ghalath,
yakni banyak melakuakn kekeliruan dalam meriwayatkan hadits
ü Jahalat
al- Hal, yaitu tidak diketahui identitasnya secara jelas dan lengkap
ü Da’wat
al-Inqitha’, yaitu diduga penyandaran (sanad) –nya tidak bersambung
c) Ilmu Tarikh ar- Ruwwah
Ilmu
tarikh ar- Ruwwah ialah “ ilmu untuk mengetahui para perwai
Hadis yang berkaitan dengan usaha periwayatan mereka terhadap hadits”. Dengan ilmu ini akan diketahui keadaan dan identitas para
perawi, seperti kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, masa, atau waktu mereka
mendengar hadits dari gurunya, siapa yang meriwayatakan hadits darinya, tempat
tinggal mereka, tempat mereka mengadakan lawatan, dan lain-lain. Sebagai bagian
dari ilmu Rijal al- Hadits, ilmu ini mengkhususkan pembahasanya secara mendalam
pada sudut kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam periwayatan.
Jadi ilmu tarikh ar- ruwah ini
merupakan senjata yang ampuh untuk megetahui keadaan rawi yang sebenarnya,
terutama untuk membongkar para perawi.
d)
Ilmu ‘Ilal al- Hadits
Kata
‘ilal adalah bentuk jama dari kata al- ‘Ilah, yang menurut bahasa adalah “al-
Marad (penyakit atau sakit). Menurut Muhaddisin, istilah ‘ilah berarti sebab
yang tersembunyi atau samar-samar yang berakibat tercemarnya hadits. Akan
tetapi yang terlihat adalah kebalikanya yakni tidak terlihat adanya kecacatan.
e)
Ilmu Asbab Wurud al- Hadits
Kata
Asbab adalah jam’ dari sabab. Menurut ahli bahasa diartikan dengan “ al- Habl”
(tali), saluran, yang artinya dijelaskan sebagai: “segala yang menghubungkan
satu beda dengan benda dengan benda yang lainnya”. Menurut istilah adalah “ segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan”. Ada juga yang mendefinisikan dengan: “sesuatu jalan menuju
terbentuknya suatu hokum tanpa adanya pengaruh apa pun dalam hokum itu”.
Sedangkan kata Wurud bisa berarti
sampai, muncul, dan mengalir, seperti:“air yang memancar, atau air yang
mengalir”. Dalam pengertian yang lebih luas, Al- Suyuthi merumuskan pengertian
asbab wurud al- hadits dengan: “sesuatu yang membatasi arti suatu hadits, baik
berkaitan dengan arti umum atau khusus, mutlak atau muqayyad, dinasak.
f)
Ilmu
Ghoribil Hadits
Ilmu Ghoribil Hadits ialah “ Ilmu
yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadits yang sukar
diketahui maknanya dan kurang terpakai oleh umum.”
g)
Ilmu
Mukhtalaf Al-Hadits
Imam Nawawi berkata dalam kitab
al-Taqrib, “ini adalah salah satu disiplin ilmu dirayah yang terpentinng.” Ilmu
ini membahas hadits-hadits yang secara lahiriyah bertentangan, namun ada
kemungkinan dapat diterima dengan syarat. Jelasnya, umpamanya ada dua hadits
yang yang makna lahirnya bertentangan, kemudian dapat diambil jalan tengah,
atau salah satunya ada yang di utamakan.
Misalnya sabda rasulullah SAW,
“tiada penyakit menular ” dan sabdanya dalam hadits lain berbunyi, “Larilah
dari penyakit kusta sebagaimana kamu lari singa”. Kedua hadits tersebut
sama-sama shahih. Lalu diterapkanlah jalan tengah bahwa sesungguhnya penyakit
tersebut tidak menular dengan sendirinya. Akan tetapi allah SWT menjadikan
pergaulan orang yang sakit dengan yang sehat sebagai sebab penularan penyakit.
h)
Ilmu Nasakh Wa Al-Mansukh Al-Hadits
Ilmu nasakh wa al-mansukh
al-hadits adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang bertentangan
yang hukumnya tidak dapat dikompromikan antara yang satu dengan yang lain.yang dating
dahulu disebut mansukh (hadits yang dihapus) dan yang datang kemudian disebut
nasikh (hadits yang menghapus).
Pengetahuan ilmu tentang nasikh
mansukh ini merupakan ilmu yang sangat penting untuk dan wajib dikuasai oleh
seorang yang akan mengkaji hokum syariat. Sebab tidak mungkin bagi seseorang
yang akan membahas tentang hukum syar’i sementara ia tidak mengenal dan
menguasai ilmu tentang nasikh mansukh.
Al-hazimi
berkata: disiplin ilmu ini (nasikh mansukh) termasul kesempurnaan ijtihad.
Karena, rukun yang paling penting dalam beriitihad adalah pengetahuan tentang
penukilan hadits, dan sedangkan faidah dari pengetahuan tentang penukilan
adalah pengetahuan tentang nasikh dan mansukh.
Nasikh adalah yang menghapus atau
membatalkan. Kadang-kadang nasikh ini di lakukan oleh nabi sendiri, seperti,
sabdanya, “Aku pernah melarang ziarah kubur, lalu sekarang berziarahlah, karena
itu akan mengingatkanmu pada akhirat.”
i)
Ilmu
Talfiqil Hadis
Ilmu yang membahas tentang cara
mengumpulkan hadits-hadits yang isinya berlawanan.Cara mengumpulkannya
adakalanya dengan menakhsiskan yang ‘amm, atau menaqyidkan yang mutlak, atau
dengan memandang banyaknya yang terjadi. Ilmu ini dinamai juga dengan ilmu
Mukhtaliful Hadis.
Dari Cabang-Cabang Ilmu
Musthalahul Hadits di atas dapat disimpulkan bahwa:
(1) Cabang yang berpangkal pada
sanad antara lain :
(a)
Ilmu rijali'l hadits, (b) Ilmu thabaqati'r ruwah,
(c)
Ilmu tarikh rijali'l hadits, (d)
Ilmu jarh wa ta'dil.
(2) Cabang-cabang berpangkal pada
matan, antara lain :
(a) Ilmu gharibi'l hadits, (b) Ilmu asbabi'l
mutun,
(c) Ilmu tawarikhi'l hadits, (d) Ilmu
talfiqi'l hadits.
(3)
Cabang-cabang yang berpangkal pada sanad dan matan, ialah : Ilmu ilali'l hadits
D. Sejarah perkembangan
ulumul hadits
Selama dua puluh tiga tahun Rasulullah saw. Mencurahkan
segala aktifitasnya untuk mendakwakan Islam kepada umat manusia sehingga
belahan dunia (Arab) tersinari oleh agama yang hanif ini.
Perkembangan ilmu hadits selalu beriringan dengan
pertumbuhan pembinaan hadits itu sendiri. Hanya saja ia belum wujud sebagai
suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada saat Rasulullah saw. masih hidup
di tengah-tengah kaum muslimin, ilmu ini masih wujud dalam bentuk
prinsip-prisip dasar, yang merupakan embrio bagi pertumbuhan ilmu hadits di
kemudian hari. Misalnya tentang pentingnya pemeriksaan dan tabayyun terhadap
suatu berita yang di dengar, atau pentingnya persaksian orang adil dan
sebagainya.
Seperti firman Allah dalam surat al-Hujurat : 6,
menyatakan: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.”
Demikian juga dalam surat at-Thalaq : 2, menyatakan : “Persaksikanlah
dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan
kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.”
Ayat di atas jelas memberikan perintah kepada kaum muslimin
supaya memeriksa, meneliti dan mengkaji berita yang datang, khususnya berita
yang dibawa orang-orang fasiq. Tidak semua berita yang datang pasti diterima
sebelum diperiksa siapa pembawanya dan apa materi isinya. Jika pembawanya orang
terpercaya dan adil, maka pasti diterima. Tetapi sebaliknya, jika mereka tidak
jujur dan fasik, tidak objektif, maka akan ditolak.
Sepeninggal Rasulullah saw, para sahabat Nabi sangat
berhati-hati dalam periwayatan hadits, karena konsentrasi mereka masih banyak
tercurahkan kepada al-Qur’an, yang baru dibukukan pada zaman khalifah Abu Bakar
dan disempurnakan pada sahabat Ustman bin Affan menjadi khalifah. Selanjutnya
ketika mulai terjadi konflik politik, yang memicu munculnya firqah di kalangan
kaum muslimin; Syi’ah, Murji’ah dan Jama’ah, dan pada gilirannya mendorong
timbulnya periwayatan yang dimanipulasi, dipalsukan dan direkayasa, maka para
ulama bangkit untuk membendung pemalsuan dan menjaga kemurnian hadits Nabi.
Dari usaha ini terbentuklah teori-teori tentang periwayatan.
Ilmu Hadits riwayat merupakan ilmu yang lebih dahulu
lahir dibandingkan dengan ilmu hadits dirayat.
Hal ini disebabkan pada awalnya umat tidak mengalami kesulitan pada aspek
sanad (mata rantai perawi) hadits. Problema yang mereka hadapi biasanya
pada aspek pemahaman terhadap teks hadits itu sendiri.
Para sahabat diantanya ada yang saling menegur temannya
ketika terjadi kesalahpahaman terhadap suatu teks. Seperti yang dilakukan Aisyah terhadap Anas ibn
Malik dalam hal mayat disiksa lantaran ditangisi oleh keluarganya. Demikian
pula Abu Bakar kepada Umar ibn Khattab yang teks tulisan haditsnya belum tuntas
dan perlu dilengkapi sehingga melahirkan perbedaan dalam mempersepsikan hadits.
Setelah
terjadi pemalsuan terhadap hadits-hadits nabi, barulah ada gerakan signifikan
dalam proses penerimaan dan periwayatan hadits. Sejak itulah para ulama tertuju
kepada kredibilitas perawi dan peletakan kaedah-kaedah yang dapat dijadikan
acuan dalam peneriman hadits dan penolakannya.
Pada
awalnya teori-teori proses penerimaan dan periwayatan hadits serta kredibilitas
perawi masih tersisip dalam buku-buku yang belum spesifik, melainkan berbaur
dengan makalah seperti yang dilakukan imam al-Syafii dan lainnya dalam
karya-karya mereka.
Tidak
ditemukan kepastian ilmu hadits lahir, tetapi yang jelas ilmu ini lahir ketika
hadits telah terkodifikasi, yaitu pada abad ke-2H. Dengan demikian, lahirnya
ilmu hadits adalah sesudah abad ke-2H.
Memang
seperti ilmu kredibilitas perawi sudah ada sejak zaman Rasulullah saw., tetapi
keilmuan itu belum terkodifikasikan secara teratur. Demikian pula ilmu nasikh dan mansukh hadits misalnya,
baru ada pada abad ke-4H berasil dibukukan dan menjadi disiplin ilmu yang
berdiri sendiri, sejajar dengan ilmu-ilmu lainnya.
Dapat
dikatakan, bahwa para ulama’ merintis lahirnya ilmu hadits setelah periwayatan sudah berkembang dengan pesat.
Begitu pesatnya periwayatan hadits sehingga tidak dipilah mana yang shahih,
hasan, atau yang dhaif. Setelah perangkat ilmunya lahir, barulah
kemudian disusun kaidah-kaidah keshahihan suatu hadits.