Saturday, June 6, 2020

Makalah Ulumul Hadits

0

Ulumul Hadits

A.    Pengertian Ulumul Hadits
Ulum al-hadits adalah ilmu yang membahas sabda, perbuatan, pengakuan, gerak-gerik dan bentuk jasmaniyah Rosulullah saw. beserta sanad dan ilmu pengetahuan untuk membedakan keshahihannya, kehasanannya, keda’ifannya dan kepalsuan hadits, baik sisi matan (teks hadits) maupun sisi sanadnya (mata rantai perawinya).
Sebagian ulama’ juga membuat istilah lain, yaitu ushul al-hadits. Pengertian ushul al-hadits adalah suatu ilmu pengetahuan yang menjadi sarana untuk mengenal  keshahihan, kehasanan, keda’ifan dan kepalsuan hadits, baik sisi matan maupun sisi sanad hadits dan untuk membedakan dengan yang lainnya.
Dengan demikian cakupan ilmu hadits cukup luas, yakni segala pengetahuan tentang ihwal perawi sampai bagaimana dibedakan keshahihan dan tidaknya sebuah hadits.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ulumul hadits adalah suatu ilmu pengetahuan yang berisi tentang cara-cara bagaimana kita dapat mengetahui suatu hadits itu shahih dan tidaknya dalam matan dan sanadnya dengan melihat persambungan hadits tersebut sampai kepada Rosul.
Pembahasan tentang sanad dan matan Hadis adalah dua hal yang penting yang berkaitan langsung apabila salah satunya tidak ada maka akan berpengaruh terhadap kualitas dari suatu hadits.
Pengertian sanad dan matan hadits baik dari segi bahasa maupun istilah:
Ø  Pengertian Sanad
Sanad secara bahasa artinya al-mu’tamad, yaitu yang dipegang (yang kuat) yang bisa dijadikan pegangan. Sedangkan secara istilah yaitu: “jalan yang menyampaikan kepada matan hadits.”
Dilihat dari suatu hadits terlihat adanya silsilah para perawi yang membawa kita sampai kepada matan hadits, yaitu Bukhari, Muhammad Ibn al-Mustanna, Abd al-Wahab, al-Tsahafi, Ayyub, Abi Qilabah, dan Anas Ra.
Rangakaian nama-nama itulah yang disebut dengan sanad dari suatu hadits. Masing-masing orang yang menyampaikan suatu hadits secara sendirian, disebut dengan rawi (perawi/periwayat), yaitu orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa yang pernah didengar atau diterimanya dari seseorang.
Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh beberapa orang perawi, yaitu:
1.      Anas Ra. Sebagai perawi pertama
2.      Abi Qilabah sebagai perawi kedua
3.      Ayyub sebagai perawi ketiga
4.      Abd al Wahab al-tsaqofi sebagai perawi keempat
5.      Muhammad ibn al-Mutsana sebagai perawi kelima
6.      Bukhari sebagai perawi keenam atau terakhir
Apabila dilihat dari segi sanad yaitu jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadits maka adalah urutannya sebagai berikut:
1.      Muhammad ibn al-Mutsana sebagai sanad pertama atau awwal al-sanad
2.      Abd al Wahab altsaqafi sebagai sanad kedua
3.      Ayyub sebagai sanad ketiga
4.      Abi Qilabah sebagai sanad keempat
5.      Anas Ra. Sebagai sanad kelima atau akhir sanad
Dengan demikian berdasarkan sejarah periwayatan hadits, perawi mulai ditingkat sahabat sampai kepada ulama hadits masa pembukuan hadits, telah melakukan pendokumentasian hadits melalui hafalan dan tulisan.
Ø  Pengertian Matan Hadits
Matan secara bahasa artinya membelah, mengeluarkan, mengikat. Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang berakhir padanya (terletak sesudah) sanad, yaitu berupa perkataan.
Dalam matan terjadi perbedaaan kandungan matan suatu hadits, dikarenakan adanya periwayatan hadits secara makna, meskipun dilakukan selain sahabat dengan ketentuan sebagai berikut:
a.       Yang benar-benar memiliki pengetahuan bahasa arab secara mendalam
b.      Apabila dilakukan dengan sangat terpaksa
c.       Apabila mengalami susunan matan hadits yang diriwayatkan
 Dengan  melakukan periwayatan secara makna memberi  peluang untuk terjadinya keragaman susunan redaksi matan hadits. Sehingga terjadi perbedaan kandungan matan. Perbedaan redaksi matan hadits terjadi karena adanya perbedaan sanad hadits, dan juga terjadi karena  adanya perbedaan perawi.
B.     Macam-macam Ulumul Hadits
Pada dasarnya kajian hadits mencakup tiga hal. Pertama terkait dengan kajian sanad hadits yang disebut ilmu hadits dirayah. Kedua tekait dengan kajian matan hadits yang disebut ilmu hadits riwayah. Ketiga terkait dengan studi kritis yang disebut takhrij hadits.
1.      Pengertian ilmu hadits dirayah
Ilmu hadits Dirayah, menurut bahasa dirayah berasal dari kata dara-yadri-daryan yang berarti pengetahuan. Maka seringkali kita mendengar Ilmu Hadits Dirayah disebut-sebut sebagai pengetahuan tentang ilmu Hadits atau pengantar ilmu hadits.
Menurut imam Asuyuthi, Ilmu Hadits Dirayah adalah ”ilmu yang mempelajari tentang hakikat periwayatan, syarat-syaratnya, macam-macamnya dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, macam-macam periwayatan, dan hal-hal yang berkaitan dengannya”.
Ilmu hadits Dirayah disebut juga dengan ilmu Musthalahul Hadits – undang-undang (kaidah-kaidah) untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan al-Hadits, sifat-sifat rawi dan lain sebagainya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Pengertian ilmu hadits dirayah adalah teori-teori (kaidah-kaidah) untuk mengetahui ihwal perawi, sanad (mata rantai perawi), cara-cara menerima dan menyampaikan hadits, sifat-sifat perawi dan lain sebagainya.
2.      Ilmu Hadits Riwayah
Menurut bahasa riwayah berasal dari kata rawa-yarwi-riwayatan yang berarti annaql = memindahkan dan penukilan. Sedangkan ilmu hadits riwayah menurut istilah adalah imu pengetahuan untuk mengetahui cara-cara penukilan, pemeliharaan dan pendiwanan apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun lainnya.
Menurut Syaikh Manna’ A-Qhaththan, obyek pembahasan ilmu riwayatul hadits: sabda Rasulullah, perbuatan beliau, ketetapan beliau, dan sifat-sifat beliau dari segi periwayatannya secara detail dan mendalam. Faidahnya: menjaga As-Sunnah dan menghindari kesalahan dalam periwayatannya.
Sementara itu, obyek Ilmu Hadits Riwayah, ialah membicarakan bagaimana cara menerima, menyampaikan pada orang lain dan memindahkan atau membukukan dalam suatu Kitab Hadits. Dalam menyampaikan dan membukukan Hadits, hanya dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya.
Jadi jelaslah, dari definisi diatas kita dapat menarik beberapa point, yaitu :
Ø  Objek Ilmu Hadits Riwayah adalah matan atau isi hadits yang disandarkan kepada Nabi, Sahabat dan Tabiin.
Ø  Ilmu Hadits Riwayah mempelajari periwayatan yang mengakumulasikan apa, siapa dan dari siapa suatu riwayat.
Ø  Fokus kajian Ilmu Hadits Riwayah adalah Matan Hadits. Namun tidak mungkin ada matan tanpa disertai Sanad Hadits.
Meskipun demikian, ilmu hadis riwayah ini sudah ada sejak periode Rasulullah SAW sendiri, bersamaan dengan dimulainya periwayatan hadis itu sendiri. Sebagaimana diketahui, para sahabat menaruh perhatian yang tinggi terhadap hadis Nabi SAW. Mereka berupaya mendapatkannya dengan menghadiri majelis Rasulullah SAW serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan Nabi SAW.
Kehadiran hadits sebagai sumber pokok ajaran islam, memang banyak dipersoalkan, hal ini berkaitan dengan matan, perawi, sanad dan lainnya, yang kesemuanya menjadi boleh atau tidaknya suatu hadits untuk dijadikan hujjah. Terlepas dari itu, perbedaan sahabat dalam memahami hadits pun menjadi hal yang penting untuk ditelaah lebih lanjut, karena perbedaan pemahaman tersebut mengakibatkan periwayatan pun menjadi berbeda.
Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab suatu hadits diperselisihkan oleh para ulama tentang kehujjahannya. Perbedaan pemahaman hadits yang dilakukan para sahabat antara tekstual dengan kontekstual melahirkan apa yang disebut dengan “Hadits Riwayah Bil-lafdzi” dan “Hadits Riwayah Bil-ma’na.” 
1)      Hadits riwayah bil-lafdzi
Meriwayatkan hadits dengan lafadz adalah meriwayatkan hadits sesuai dengan lafadz yang mereka terima dari Nabi saw dan mereka hafal benar lafadz dari Nabi tersebut. Atau dengan kata lain meriwayatkan dengan lafadz yang masih asli dari Nabi saw. Riwayat hadits dengan lafadz ini sebenarnya tidak ada persoalan, karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik melalui perkataan maupun perbuatan, dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau menghafalnya.
Hal ini dapat kita lihat pada hadits-hadits yang memakai lafadz-lafadz sebagai berikut:
a.       (Saya mendengar Rasulullah saw) Artinya: Dari Al-Mughirah ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama orang lain, dan barang siapa dusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim dan lain-lainnya)
b.      Artinya: Telah bercerita kepadaku Malik dari Ibnu Syihab dari Humaidi bin Abdur Rahman dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang beramadhan dengan iman dan mengharap pahala, dihapus doasa-dosanya yang telah lalu.”
c.       Artinya: Dari Abbas bin Rabi’ ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin Khaththab ra., mencium Hajar Aswad dan ia berkata: “Sesungguhnya benar-benar aku tahu bahwa engkau itu sebuah batu yang tidak memberi mudharat dan tidak (pula) memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah saw. menciummu, aku (pun) tak akan menciummu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits yang menggunakan lafadz-lafadz di atas memberikan indikasi, bahwa para sahabat langsung bertemu dengan Nabi saw dalam meriwayatkan hadits. Oleh karenanya para ulama menetapkan hadits yang diterima dengan cara itu menjadi hujjah, dengan tidak ada khilaf.
2)      Hadits riwayah bil-ma’na
Meriwayatkan hadits dengan makna adalah meriwayatkan hadits dengan maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan. Atau dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafadz atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama daya ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sementara apa yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya.
Menukil atau meriwayatkan hadits secara makna ini hanya diperbolehkan ketika hadits-hadits belum terkodifikasi. Adapun hadits-hadits yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafadz/matan yang lain meskipun maknanya tetap.
Adapun contoh hadits ma’nawi adalah sebagai berikut:
a.       Artinya: Ada seorang wanita datang menghadap Nabi saw, yang bermaksud menyerahkan dirinya (untuk dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berkata: Ya Rasulullah, nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan laki-laki tersebut tidak memiliki sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain dia hafal sebagian ayat-ayat Al-Qur’an. Maka Nabi saw berkata kepada laki-laki tersebut: Aku nikahkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar (mas kawin) berupa mengajarkan ayat Al-Qur’an.
Dalam satu riwayat disebutkan: “Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Al-Qur’an”. Dalam riwayat lain disebutkan: “Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut atas dasar mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Al-Qur’an”. Dan dalam riwayat lain disebutkan: “Aku jadikan wanita tersebut milik engkau dengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Al-Qur’an”. (Al-Hadits)
Secara lebih terperinci dapat dikatakan bahwa meriwayatkan hadits dengan maknanya itu sebagai berikut:
a)      Tidak diperbolehkan, pendapat segolongan ahli hadits, ahli fiqh dan ushuliyyin.
b)      Diperbolehkan, dengan syarat yang diriwayatkan itu bukan hadits marfu’.
c)      Diperbolehkan, baik hadits itu marfu’ atau bukan asal diyakini bahwa hadits itu tidak menyalahi lafadz yang didengar, dalam arti pengertian dan maksud hadits itu dapat mencakup dan tidak menyalahi.
d)      Diperbolehkan, bagi para perawi yang tidak ingat lagi lafadz asli yang ia dengar, kalau masih ingat maka tidak diperbolehkan menggantinya.
e)      Ada pendapat yang mengatakan bahwa hadits itu yang terpenting adalah isi, maksud kandungan dan pengertiannya, masalah lafadz tidak jadi persoalan. Jadi diperbolehkan mengganti lafadz dengan murodifnya.
f)       Jika hadits itu tidak mengenai masalah ibadah atau yang diibadati, umpamanya hadits mengenai ilmu dan sebagainya, maka diperbolehkan dengan catatan:
·         Hanya pada periode sahabat
·         Bukan hadits yang sudah didewankan atau di bukukan
·         Tidak pada lafadz yang diibadati, umpamanya tentang lafadz tasyahud dan qunut.
Sedangkan Ilmu Hadits ialah seperangkat kaidah yang mengatur tentang anatomi dan morfologi hadits. Pengolahan anatomi hadits disebut Ilmu Hadits Riwayah dan pengolahan morfologi hadits disebut Ilmu Hadits Dirayah. Dua bidang ilmu itu bergerak terus, dan berkembang sesuai kebutuhan, untuk menformatisasikan isi hadits Nabi kepada lokasi atau kepada perkembangan masyarakat.
Meskipun demikian, ilmu hadis riwayah ini sudah ada sejak periode Rasulullah SAW sendiri, bersamaan dengan dimulainya periwayatan hadis itu sendiri. Sebagaimana diketahui, para sahabat menaruh perhatian yang tinggi terhadap hadis Nabi SAW. Mereka berupaya mendapatkannya dengan menghadiri majelis Rasulullah SAW serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan Nabi SAW.
Dari definisi tentang ilmu hadits dirayah dan ilmu hadits riwayah diatas dapat dipahami tentang faedah, objek dan perintis masing-masing ilmu. Ilmu hadits riwayah objeknya adalah matan hadits. Artinya bagaimana pemaknaan terhadap hadits ini, bagaimana seandainya terjadi kontradiksi baik dengan sesama hadits maupun dengan al Qur’an, termasuk ma’mul dan tidak ma’mulnya sebuah hadits dan lainnya. Serta bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang dan memindahkan atau mendewankan dalam suatu Dewan Hadits, baik mengenai matan maupun sanadnya.
Faedahnya adalah untuk mengetahui aspek validitas sebuah hadits dan untuk menghindari adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan obyek ilmu hadits dirayah adalah meneliti masing-masing keadaan perawi hadits, ketersambungan dan tidaknya sanad (mata rantai perawi) dan lainnya. Menurut sebagian ulama, yang menjadi obyeknya ialah Rasulullah SAW sendiri dalam kedudukannya sebagai Rasul Allah. Faedahnya adalah untuk menetapkan status hadits, shahih, hasan, dhaif dan kepalsuannya, serta untuk menetapkan maqbul (dapat diterima) atau mardudnya (tertolaknya) suatu hadits dan selanjutnya untuk diamalkannya yang maqbul dan ditinggalnya yang mardud.
3.      Ilmu takhrij hadits
Ilmu takhrij hadits adalah seperangkat ilmu yang fokusnya menunjukkan keberadaan suatu hadits pada referensi utamanya dan menjelaskan derajat hadits tersebut. Ilmu ini akhirnya berkembang dengan fokus kolaborasi kajian hadits baik sisi sanad maupun matan hadits untuk mengetahui otentisitas sebuah hadits dan validasinya.
C.    Cabang-Cabang Ulumul Hadits
Dari ilmu hadits riwayah dan dirayah, pada perkembangan berikutnya muncullah cabang-cabang ilmu hadits lainnya, diantaranya :
Ø  Ilmu Rijal al-Hadits
Ø  Ilmu Al-jarh wa At-Ta’dil
Ø  Tarikh al-Ruwah
Ø  Ilmu ‘llal Al-Hadits
Ø  Ilmu Al-nasikh wa Al-mansukh
Ø  Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits
Ø  Ilmu Gharib Al-Hadits
Ø  Ilmu Nasakh Wa Al-Mansukh Al-Hadits
Ø  Ilmu Mukhtalaf Al-Hadits
Dalam pembahasan ini, kami akan menguraikan satu persatu ilmu-ilmu diatas:
a)      Ilmu Rijal al-Hadits
Ilmu Rijal al-Hadits ialah “Ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam kapasitasnya dalam perawi hadits”. dalam buku ilmu hadits (kajian riwayah dan dirayah ) karangan Prof. DR. H. Endang Soetari AD.,M.Si. disebutkan Ilmu Rijal al- Hadits adalah ilmu yang membahas tentang hal ihwal dan sejarah para rawi dari kalangan sahabat, tabi’in dan atba’ al-Tabi’in. para ulama muhaditsin mendefinisikan ilmu Rijal al- Hadits ialah ilmu yang membahas tentang para perawi dan biografinya dari kalangan sahabat, tabi’in dan tabi’ut Al- Tabi’in.
Ilmu ini sangat penting kedudukannya dalam dalam lapangan ilmu hadits. Karena obyek kajian hadits pada dasarnya ada dua hal, yaitu matan dan sanad. Ilmu Rijalul Hadits ini lahir bersama-sma dengan periwayatan hadits dalam Islam dan mengambil kedudukan khusus untuk mempelajari persoalan-persoalan sanad.
b)     Ilmu al- Jarh wa at- Ta’dil 
Ilmu al- Jarh, dan secara bahasa berarti luka, cela, atau cacat, adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitanya. Para ahli hadits mendefinisikan al-Jarh dengan: “kecacatan para perawi hadits disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadalian atau kedhabitan perawi”.
Sedang at- Ta’dil secara bahasa berarti at- Tasywiyah (menyamakan) menurut istilah berarti: “lawan dari al- Jarh, yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan perawi dan ketetapan, bahwa ia adil atau dhabit”, Ulama lain mendefinisikan al- Jarh dan at- Ta’dil dalam satu definisi yaitu ilmu yang membahas tentang para perwai hadits dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, dengan ungkapan atau lafaz tertentu.
Ilmu ini digunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi “ Jarh” oleh para ahli sebagai rawi yang cacat maka periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya, bila dipuji maka haditsnya bisa diterima Selama syarta-syarat yang lain dipenuhi.
Kecacatan rawi itu bisa ditelusuri melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, biasanya dikatagorikan dalam lingkup perbutan:
ü  bid’ah, yakni melakukan tindakan tercela atau diluar ketentuan Syariah
ü  Mukalaf, yakni berbeda dengan periwayatan dari rawi yang lebih Tsiqqah
ü  Ghalath, yakni banyak melakuakn kekeliruan dalam meriwayatkan hadits
ü  Jahalat al- Hal, yaitu tidak diketahui identitasnya secara jelas dan lengkap
ü  Da’wat al-Inqitha’, yaitu diduga penyandaran (sanad) –nya tidak bersambung
c)      Ilmu Tarikh ar- Ruwwah
Ilmu tarikh ar- Ruwwah ialah “ ilmu untuk mengetahui para perwai Hadis yang berkaitan dengan usaha periwayatan mereka terhadap hadits”. Dengan ilmu ini akan diketahui keadaan dan identitas para perawi, seperti kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, masa, atau waktu mereka mendengar hadits dari gurunya, siapa yang meriwayatakan hadits darinya, tempat tinggal mereka, tempat mereka mengadakan lawatan, dan lain-lain. Sebagai bagian dari ilmu Rijal al- Hadits, ilmu ini mengkhususkan pembahasanya secara mendalam pada sudut kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam periwayatan.
Jadi ilmu tarikh ar- ruwah ini merupakan senjata yang ampuh untuk megetahui keadaan rawi yang sebenarnya, terutama untuk membongkar para perawi.
d)     Ilmu ‘Ilal al- Hadits 
Kata ‘ilal adalah bentuk jama dari kata al- ‘Ilah, yang menurut bahasa adalah “al- Marad (penyakit atau sakit). Menurut Muhaddisin, istilah ‘ilah berarti sebab yang tersembunyi atau samar-samar yang berakibat tercemarnya hadits. Akan tetapi yang terlihat adalah kebalikanya yakni tidak terlihat adanya kecacatan.
e)      Ilmu Asbab Wurud al- Hadits 
Kata Asbab adalah jam’ dari sabab. Menurut ahli bahasa diartikan dengan “ al- Habl” (tali), saluran, yang artinya dijelaskan sebagai: “segala yang menghubungkan satu beda dengan benda dengan benda yang lainnya”. Menurut istilah adalah “ segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan”. Ada juga yang mendefinisikan dengan: “sesuatu jalan menuju terbentuknya suatu hokum tanpa adanya pengaruh apa pun dalam hokum itu”.
Sedangkan kata Wurud bisa berarti sampai, muncul, dan mengalir, seperti:“air yang memancar, atau air yang mengalir”. Dalam pengertian yang lebih luas, Al- Suyuthi merumuskan pengertian asbab wurud al- hadits dengan: “sesuatu yang membatasi arti suatu hadits, baik berkaitan dengan arti umum atau khusus, mutlak atau muqayyad, dinasak.
f)       Ilmu Ghoribil Hadits 
Ilmu Ghoribil Hadits ialah “ Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadits yang sukar diketahui maknanya dan kurang  terpakai oleh umum.”
g)      Ilmu Mukhtalaf Al-Hadits
Imam Nawawi berkata dalam kitab al-Taqrib, “ini adalah salah satu disiplin ilmu dirayah yang terpentinng.” Ilmu ini membahas hadits-hadits yang secara lahiriyah bertentangan, namun ada kemungkinan dapat diterima dengan syarat. Jelasnya, umpamanya ada dua hadits yang yang makna lahirnya bertentangan, kemudian dapat diambil jalan tengah, atau salah satunya ada yang di utamakan.
Misalnya sabda rasulullah SAW, “tiada penyakit menular ” dan sabdanya dalam hadits lain berbunyi, “Larilah dari penyakit kusta sebagaimana kamu lari singa”. Kedua hadits tersebut sama-sama shahih. Lalu diterapkanlah jalan tengah bahwa sesungguhnya penyakit tersebut tidak menular dengan sendirinya. Akan tetapi allah SWT menjadikan pergaulan orang yang sakit dengan yang sehat sebagai sebab penularan penyakit.
h)     Ilmu Nasakh Wa Al-Mansukh Al-Hadits
Ilmu nasakh wa al-mansukh al-hadits adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang bertentangan yang hukumnya tidak dapat dikompromikan antara yang satu dengan yang lain.yang dating dahulu disebut mansukh (hadits yang dihapus) dan yang datang kemudian disebut nasikh (hadits yang menghapus).
Pengetahuan ilmu tentang nasikh mansukh ini merupakan ilmu yang sangat penting untuk dan wajib dikuasai oleh seorang yang akan mengkaji hokum syariat. Sebab tidak mungkin bagi seseorang yang akan membahas tentang hukum syar’i sementara ia tidak mengenal dan menguasai ilmu tentang nasikh mansukh.
Al-hazimi berkata: disiplin ilmu ini (nasikh mansukh) termasul kesempurnaan ijtihad. Karena, rukun yang paling penting dalam beriitihad adalah pengetahuan tentang penukilan hadits, dan sedangkan faidah dari pengetahuan tentang penukilan adalah pengetahuan tentang nasikh dan mansukh.
Nasikh adalah yang menghapus atau membatalkan. Kadang-kadang nasikh ini di lakukan oleh nabi sendiri, seperti, sabdanya, “Aku pernah melarang ziarah kubur, lalu sekarang berziarahlah, karena itu akan mengingatkanmu pada akhirat.”
i)        Ilmu Talfiqil Hadis
Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan hadits-hadits yang isinya berlawanan.Cara mengumpulkannya adakalanya dengan menakhsiskan yang ‘amm, atau menaqyidkan yang mutlak, atau dengan memandang banyaknya yang terjadi. Ilmu ini dinamai juga dengan ilmu Mukhtaliful Hadis.
Dari Cabang-Cabang Ilmu Musthalahul Hadits di atas dapat disimpulkan bahwa:
(1) Cabang yang berpangkal pada sanad antara lain :
      (a) Ilmu rijali'l hadits, (b) Ilmu thabaqati'r ruwah,
      (c) Ilmu tarikh rijali'l hadits,  (d) Ilmu jarh wa ta'dil.
(2) Cabang-cabang berpangkal pada matan, antara lain :
      (a) Ilmu gharibi'l hadits, (b) Ilmu asbabi'l mutun,
      (c) Ilmu tawarikhi'l hadits, (d) Ilmu talfiqi'l hadits.
(3) Cabang-cabang yang berpangkal pada sanad dan matan, ialah : Ilmu ilali'l hadits                                     
D.    Sejarah perkembangan ulumul hadits
Selama dua puluh tiga tahun Rasulullah saw. Mencurahkan segala aktifitasnya untuk mendakwakan Islam kepada umat manusia sehingga belahan dunia (Arab) tersinari oleh agama yang hanif ini.
Perkembangan ilmu hadits selalu beriringan dengan pertumbuhan pembinaan hadits itu sendiri. Hanya saja ia belum wujud sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada saat Rasulullah saw. masih hidup di tengah-tengah kaum muslimin, ilmu ini masih wujud dalam bentuk prinsip-prisip dasar, yang merupakan embrio bagi pertumbuhan ilmu hadits di kemudian hari. Misalnya tentang pentingnya pemeriksaan dan tabayyun terhadap suatu berita yang di dengar, atau pentingnya persaksian orang adil dan sebagainya.
Seperti firman Allah dalam surat al-Hujurat : 6, menyatakan: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Demikian juga dalam surat at-Thalaq : 2, menyatakan : “Persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.”
Ayat di atas jelas memberikan perintah kepada kaum muslimin supaya memeriksa, meneliti dan mengkaji berita yang datang, khususnya berita yang dibawa orang-orang fasiq. Tidak semua berita yang datang pasti diterima sebelum diperiksa siapa pembawanya dan apa materi isinya. Jika pembawanya orang terpercaya dan adil, maka pasti diterima. Tetapi sebaliknya, jika mereka tidak jujur dan fasik, tidak objektif, maka akan ditolak.
Sepeninggal Rasulullah saw, para sahabat Nabi sangat berhati-hati dalam periwayatan hadits, karena konsentrasi mereka masih banyak tercurahkan kepada al-Qur’an, yang baru dibukukan pada zaman khalifah Abu Bakar dan disempurnakan pada sahabat Ustman bin Affan menjadi khalifah. Selanjutnya ketika mulai terjadi konflik politik, yang memicu munculnya firqah di kalangan kaum muslimin; Syi’ah, Murji’ah dan Jama’ah, dan pada gilirannya mendorong timbulnya periwayatan yang dimanipulasi, dipalsukan dan direkayasa, maka para ulama bangkit untuk membendung pemalsuan dan menjaga kemurnian hadits Nabi. Dari usaha ini terbentuklah teori-teori tentang periwayatan.
Ilmu Hadits riwayat merupakan ilmu yang lebih dahulu lahir dibandingkan dengan ilmu hadits  dirayat. Hal ini disebabkan pada awalnya umat tidak mengalami kesulitan pada aspek sanad (mata rantai perawi) hadits. Problema yang mereka hadapi biasanya pada aspek pemahaman terhadap teks hadits itu sendiri.
Para sahabat diantanya ada yang saling menegur temannya ketika terjadi kesalahpahaman terhadap suatu teks. Seperti yang dilakukan Aisyah terhadap Anas ibn Malik dalam hal mayat disiksa lantaran ditangisi oleh keluarganya. Demikian pula Abu Bakar kepada Umar ibn Khattab yang teks tulisan haditsnya belum tuntas dan perlu dilengkapi sehingga melahirkan perbedaan dalam mempersepsikan hadits.
Setelah terjadi pemalsuan terhadap hadits-hadits nabi, barulah ada gerakan signifikan dalam proses penerimaan dan periwayatan hadits. Sejak itulah para ulama tertuju kepada kredibilitas perawi dan peletakan kaedah-kaedah yang dapat dijadikan acuan dalam peneriman hadits dan penolakannya.
Pada awalnya teori-teori proses penerimaan dan periwayatan hadits serta kredibilitas perawi masih tersisip dalam buku-buku yang belum spesifik, melainkan berbaur dengan makalah seperti yang dilakukan imam al-Syafii dan lainnya dalam karya-karya mereka.
Tidak ditemukan kepastian ilmu hadits lahir, tetapi yang jelas ilmu ini lahir ketika hadits telah terkodifikasi, yaitu pada abad ke-2H. Dengan demikian, lahirnya ilmu hadits adalah sesudah abad ke-2H.
Memang seperti ilmu kredibilitas perawi sudah ada sejak zaman Rasulullah saw., tetapi keilmuan itu belum terkodifikasikan secara teratur. Demikian pula ilmu  nasikh dan mansukh hadits misalnya, baru ada pada abad ke-4H berasil dibukukan dan menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sejajar dengan ilmu-ilmu lainnya.
Dapat dikatakan, bahwa para ulama’ merintis lahirnya ilmu hadits setelah  periwayatan sudah berkembang dengan pesat. Begitu pesatnya periwayatan hadits sehingga tidak dipilah mana yang shahih, hasan, atau yang dhaif. Setelah perangkat ilmunya lahir, barulah kemudian disusun kaidah-kaidah keshahihan suatu hadits.   

Author Image
AboutDika Ayu Rahmawati

Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment